Minggu, 19 Januari 2014

Rumah cicilan


Alkisah, ada seorang pemuda dari keluarga yang miskin yang rumah tinggalnya sering berpindah-pindah, karena ia hanya bisa mengontrak. Dalam hidup, keinginan terbesarnya adalah memiliki rumah sendiri. Karena itu, saat menikah, dia memaksa dirinya membeli rumah dengan cicilan selama 20 tahun. Akibatnya, dengan gajinya yang relatif kecil, ia harus mengatur pengeluarannya sedemikian rupa, sehemat mungkin, agar kebutuhan hidup bersama keluarganya tetap bisa tercukupi.
        Maka, sejak saat itu, hidup keluarga pemuda itu terpola dengan sangat hemat, irit, dan tanpa keleluasaan sedikit pun untuk bersantai. Si suami sangat ketat mengatur segala sesuatu agar cicilan rumah dapat terlunasi. Tak heran, setiap hari keluarga itu dilingkupi suasan tegang, mudah emosi, karena ketat sekali dalam pengeluaran uang.
        Waktu pun terus berjalan. Pada suatu ketika, ibu pemuda tadi menyatakan keinginan kepada anaknya, “anakku, keinginan ibu sebelum meninggal adalah kita bisa pergi berjalan-jalan ke daerah yang ibu sukai. Ibu mempunyai sedikit tabungan. Apakah kamu punya tabungan untuk menambahkan kekurangannya?”
        “sabar, bu. Jangan sekarang. Bukankah kita harus berhemat, irit, menggatur sedetail mungkin pengeluaran kita agar bisa tetap membayar cicilan rumah?” jawab si pemuda setiap kali ditanyai ibunya.
        Begitulah, saking ketatnya mengatur pengeluaran, saat si istri mengajak pergi keluar untuk sekedar bersantai pun, pemuda itu tidak menggubrisnya. Bahkan hanya sekadar makan keluar ke restoran bersama keluarga pun, selalu dijawabnya dengan jawaban yang itu-itu saja, yakni harus berhemat untuk membayar cicilan rumah. Alasan ini juga berlaku untuk anaknya. Saat si anak merengek minta uang jajan atau dibelikan mainan, dengan tegas si pemuda menolak semua keinginan anaknya.
        Istri dan keluarganya akhirnya mulai tertekan dan jenuh dengan keadaan seperti itu. hari-hari pun berlalu dengan monoton dan penuh dengan stres. Tak ada lagi nuansa kebahagiaan yang menyelimuti keluarga itu. tanpa terasa, 20 tahun kemudian, cicilan rumah telah selesai. Rumah itu sepenuhnya menjadi milik pemuda tadi. Namun, ketika rumah itu benar-benar menjadi miliknya, ternyata ia tidak bahagia. Ia bahkan merasa telah kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga. Saat itu, rumah yang ditempati hanyalah sebentuk bangunan, tanpa ada apa-apa lagi di dalamnya, tanpa kehangatan dan tanpa kebahagiaan. Si pemuda tinggal seorang diri di situ. Istrinya telah pergi meninggalkan dia, dengan hak asuh anak di pihak istrinya. Rupanya, karena tak tahan, mereka akhirnya bercerai. Ibu pemuda itu pun sudah meninggal dunia beberapa tahun silam tanpa pernah terkabul permintaannya terakhirnya.
        Kini, hidup terasa hampa, dingin, dan kosong baginya. Laki-laki itu tidak mengerti, kenapa saat tujuan hidup yang diagungkan tercapai, saat sertifikat kepemilikan rumah ada di tangannya, justru cinta, kehangatan, dan kebahagiaan pergi meninggalkannya begitu saja.

just share:)


2 komentar: