Jumat, 27 Desember 2013

belajar mengasihi dari malaikat kecil


          Istriku berkata kepada aku yang sedang baca koran, “Berapa lama lagi kamu baca koran itu? Tolong kamu ke sini dan bantu anak perempuanmu tersayang untuk makan.”
          Aku taruh koran dan melihat anak perempuanku satu-satunya, namanya Sindu. Dia tampak ketakutan, air matanya mengalir. Di depannya ada semangkuk nasi berisi nasi susu ayam/yogurt (nasi khas India/curd rice).
          Sindu anak yang manis dan termasuk pintar dalam usianya yang baru 8 tahun. Dia sangat tidak suka makan curd rice ini. Ibu dan istriku masih kuno, mereka percaya sekali kalau makan curd rice ada “cooling effect”. Aku mengambil mangkuk dan berkata, “Sindu sayang, demi ayah, maukah kamu makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak, nanti ibumu akan teriak-teriak sama ayah.”
          Aku bisa merasakan istriku cemberut di belakang punggungku. Tangis Sindu mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya, dan berkata, “Boleh ayah akan saya makan curd rice ini tidak hanya beberapa sendok tapi semuanya akan saya habiskan, tapi saya akan minta..” agak ragu sejenak, “akan minta sesuatu sama ayah bila habis semua nasinya. Apakah ayah mau berjanji memenuhi permintaan Sindu?”. Aku menjawab, “Oh.. pasti sayang”.
Sindu tanya sekali lagi, “betul nih ayah?”
“ya pasti!” sambil menggenggam tangan anakku yang kemerah-merahan dan lembut sebagai tanda setuju.
          Sindu juga mendesak ibunya untuk janji hal yang sama, istriku menepuk tangan Sindu yang merengek sambil berkata tanpa emosi, “Janji”. Aku sedikit khawatir dan berkata, “Sindu jangan minta komputer atau barang-barang lain yah yang mahal, karena ayah saat ini tidak punya uang.”
Sindu menjawab, “Jangan khawatir, Sindu tidak minta barang mahal kok,” kemudian Sindu dengan perlahan-lahan dan keliatannya sangat menderita, dia bertekad menghabiskan semua nasi yogurt itu.
          Dalam hati aku marah sama istri dan ibuku yanf memaksa Sindu untuk makan sesuatu yang tidak disukainya. Setelah Sindu melewati penderitaannya, dia mendekatiku dengan mata penuh harap, dan semua perhatian (aku, istriku, dan juga ibuku) tertuju kepadanya. Ternyata Sindu mau kepalanya digundulin/dibotakin pada hari Minggu.
          Istriku spontan berkata, “Permintaan gila, anak perempuan dibotakin, tidak mungkin.” Juga ibuku menggerutu, “jangan-jangan terjadi dalam keluarga kita, dia terlalu banyak nonton TV dan program TV itu sudah merusak kebudayaan kita.”
          Aku coba membujuk, “Sindu kenapa kamu tidak minta hal lain, kami semua akan sedih melihatmu botak.” Tapi Sindu tetap pada pilihannya, “Tidak ada yah, tak ada keinginan lain.” Kata Sindu. Aku coba memohon kepada Sindu, “Tolonglah.. kenapa kamu tidak mencoba untuk mengerti perasaan kami?”
Sindu dengan menangis berkata, “Ayah sudah melihat bagaimana menderitanya saya menghabiskan nasi yogurt itu dan ayah sudah berjanji memenuhi permintaan saya. Kenapa sekarang ayah mau menarik/menjilat ludah sendiri? Bukankah ayah sudah mengajarkan pelajaran moral, bahwa kita harus memenuhi janji kita terhadap seseorang apapun yang terjadi seperti Raja Harish Chandra (raja India zaman dahulu kala) untuk memenuhi janjinya rela memberikan takhta, harta/kekuasaannya, bahkan nyawa anaknya.”
          Sekarang aku memutuskan untuk memenuhi permintaan anakku, “janji  kita harus ditepati.” Secara serentak istri dan ibuku berkata, “apakah kamu sudah gila?”. “Tidak” jawabku, “kalau kita menjilat ludah sendiri, dia tidak akan pernah belajar bagaimana menghargai dirinya sendiri. Sindu, permintaanmu akan kami penuhi.”
          Dengan kepala botak, wajah Sindu nampak bundar, matanya besar dan bagus. Hari Senin aku mengantarkannya ke sekolah, sekilas aku melihat Sindu botak berjalan ke kelasnya dan melambaikan tangan kepadaku. Sambil tersenyum aku membalas lambaian tangannya. Tiba-tiba seorang anak laki-laki keluar dari mobil sambil berteriak, “Sindu tolong tunggu saya.” Yang mengejutkanku ternyata kepala anak itu juga botak. Aku berpikir mungkin botak model zaman sekarang.
          Tanpa memperkenalkan dirinya, seorang wanita keluar dari mobil dan berkata, “anak anda, Sindu benar-benar hebat. Anak laki-laki yang jalan bersama dia sekarang, Harish adalah anak saya. Dia menderita kanker leukemia.” Wanita itu berhenti sejenak, menangis tersedu-sedu.
“bulan lalu Harish tidak masuk sekolah karena pengobatan kemoterapi. Kepalanya menjadi botak jadi dia tidak mau pergi ke sekolah takut diejek oleh teman –temannya. Nah, minggu lalu Sindu datang ke rumah dan berjanji kepada anak saya untuk mengatasi ejekan yang mungkin terjadi. Hanya saya betul-betul tidak menyangkan kalau Sindu mau mengorbankan rambutnya yang indah untuk anakku. Tuan dan istri tuan sungguh diberkati Tuhan mempunyai anak perempuan yang berhati mulia.”


Dari berbagai sumber

Just share J

Kamis, 26 Desember 2013

kisah nyata "dunia maya merenggut nyawa"



Suatu siang yang cerah di bulan Oktober 2012, seorang gadis mengajak ayahnya untuk membuat tato. Amanda Todd, nama sang gadis, ingin menato pergelangan tangannya dengan tulisan “stay strong”. Sedangkan ayahnya, Norm Todd, berencana membuat tato aksara China yang berarti “kekuatan”. Apa nyana, keinginan Amanda itu menjadi permintaan terakhirnya yang takpernah terwujud.

Amanda Todd adalah seorang gadis cantik yang ceria. Masa kecil bersama orangtuanya, Norm Todd dan Carol Todd, dilaluinya di Port Coquitlam, di pinggiran kota Vancouver, Kanada. Layaknya anak-anak lain, Gadis yang dilahirkan pada 27 November 1996 itu senang menghabiskan waktu bersama teman sebaya. Bukan cuma di dunia nyata saja, Amanda banyak menghabiskan waktu bergaul di dunia maya. Hal yang lumrah dilakukan anak-anak yang hidup di generasi digital.

Mulai dari media sosial seperti Facebook, Amanda mendapatkan banyak kenalan. Karena sifatnya yang mudah bergaul, ramah, dan cantik, tak jarang pertemuan di media sosial saja tidak cukup. Perbincangan beralih ke media obrol di dunia maya, seperti chatting dan video-calling.

Semua terlihat sempurna; banyak teman, keluarga yang mencintainya, pintar, cantik pula. Namun, Amanda membuat kesalahan besar di usia 12 tahun. Kesalahan yang membuatnya menjadi sangat menderita, depresi berat, yang mengubah hidup Amanda sampai tiga tahun berikutnya.

Sekejap namun fatal

Cerita berawal ketika dia mendapatkan teman seorang pria di media sosial, sebut saja namanya Mr. X. obrolan yang intens antara Amanda dan Mr. X mulai terbangun secara intim. Karena kepiawaiannya bermain kata, Mr. X berhasil membujuk Amanda untuk melakukan video chat. Wajah cantik gadis lugu ini bisa dilihat oleh Mr.X.

Sampai suatu malam, Amanda melakukan hal yang dia sesali seumur hidup. Pada obrolan kali itu, Mr. X mulai mulai membujuk Amanda untuk membuka kaos, memperlihatkan bagian tubuh vitalnya. Gadis lugu berusia belia itu ternyata termakan bujuk rayu busuk Mr. X. Dia menaikkan sedikit kaosnya, sehingga buah dadanya terlihat. Hal ini hanya terjadi beberapa detik saja, sebelum Amanda cepat-cepat menarik kaosnya untuk menutupi dadanya.

Bagi remaja berusia belasan, keputusan tanpa pikir panjang sepertinya menjadi masalah yang sudah jamak. Sama halnya Amanda, awalnya dia berpikir hal itu tidak akan berdampak apa-apa, toh pria yang dia kenal tersebut betutur ramah. “Remaja baik-baik,” begitu mungkin penilaian Amanda terhadap pria yang ngobrol dengannya. Dia tak sadar, perbuatannya itu merupakan terbukanya pintu bagi kekelaman yang menghantui Amanda di hari-hari berikutnya.

Pria tersebut ternyata tidak sebaik yang disangka Amanda. Mr. X mulai meneror Amanda dengan kiriman pesan melalui Facebook yang meminta Amanda untuk melakukan “pertunjukan” di depan kamera buat pria bejat ini. “Jika tidak,” ancam Mr. X, “aku akan menyebarkan foto dirimu mempertunjukkan buah dada ke semua orang yang kau kenal.” Ternyata, Mr. X sempat merekam kejadian beberapa detik itu.

Di kotak pesan itu juga Mr. X membeberkan data Amanda: alamat rumah, sekolah, nama-nama orangtua, saudara, teman, dan banyak data lain yang entah dari mana dia dapatkan.

Amanda panik. Dia tidak mau foto pribadinya tersebar ke semua orang yang dia kenal. Tapi dia juga tidak mau melakukan kesalahan bodoh kedua kalinya, dengan mempertunjukkan dirinya telanjang ke “orang baik-baik” yang ternyata brengsek itu.

Di tengah kekalutan, dia memutuskan untuk melakukan pilihan yang kedua; menolak permintaan Mr. X dan berdoa semoga ancaman yang dilayangkan melalui pesan Facebook itu hanya gertakan belaka.

Foto tersebar di dunia maya

Sayang, perkiraan Amanda meleset. Beberapa hari setelah kiriman pesan ancaman tersebut, sekitar pukul 4.00 dini hari, pintu rumah Amanda diketuk. Polisi datang, dan memberitahu keluarga Todd bahwa foto Amanda bertelanjang dada tersebar di internet. Polisi meminta keterangan dari Amanda dan keluarganya.

Amanda merasa remuk. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Penyesalan hebat ini membuat dirinya tertekan dan sedih. Keceriaan sudah terhapus dari wajah Amanda, berganti murung dan duka. Gadis 12 tahun itu juga mulai mengonsumsi obat-obatan dan alkohol. Namun itu tidak banyak membantu dirinya menekan depresi hebat yang melanda.

Teman-teman rumah dan sekolah sudah tahu perihal foto topless Amanda di internet, dan hal itu membuat Amanda takut ke luar rumah, termasuk ke sekolah.

Akhirnya orangtua Amanda memutuskan untuk memindahkan buah hatinya ke sekolah lain, demi menghapus semua ingatan akan kejadian memalukan itu. Namun sepertinya noda itu sudah sangat kuat melekat di benak Amanda, sehingga tidak ada usaha apa pun yang mampu membersihkannya secara tuntas.

Di sekolahnya yang baru, Amanda sedikit demi sedikit bisa memulihkan derita psikologisnya. Namun itu tidak bertahan lama. Setahun setelah kejadian itu, Mr. X kembali menghantui hari-hari Amanda. Kali ini serangannya lebih hebat. Dia mengirimkan foto telanjang dada Amanda ke semua teman Facebook-nya, dan membuat akun Facebook khusus dengan foto memalukan tersebut sebagai foto profilnya.

Mulailah Amanda menjadi target bullying (perundungan), baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Teman-teman sekolah menyorakinya seakan dia seorang bintang tenar, bedanya itu bukan sorakan membanggakan. Di internet, orang-orang juga tak henti merundung Amanda, meminta foto-foto syur lainnya, seakan Amanda seorang pelacur tak ada harganya. Amanda mulai “tenar” sebagai bahan cibiran di internet. Tiba-tiba dunia nyata juga mulai mengenali Amanda, gadis lugu yang foto dadanya ada di mana-mana.

Amanda mulai kehilangan teman-teman dekatnya, dan yang lebih parah, kehormatannya. Dukungan moral dari orangtua dan saudaranya tidak mempan membentengi terpaan cibiran dari segala arah yang menerpa batin Amanda. Di usia belia itu, Amanda beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri dengan mengiris nadi pergelangan tangannya. Bagi Amanda, hidup sudah tidak berharga. Namun Sang Khalik belum mengizinkan Amanda bertemu dengan-Nya.

Perundungan bertubi

Karena beratnya beban, Akhirnya orangtua Amanda kembali memindahkan putrinya ke sekolah lain. Di tempat yang baru ini, Amanda kembali mendapatkan harapan hidupnya. Di bulan pertama dia bersekolah, dia mendapat seorang teman pria yang usianya lebih tua dari Amanda.

Itulah kali pertama Amanda mempunyai teman kembali, setelah dia terkungkung dalam depresi mendalam yang membuatnya takut bertemu orang lain.

Amanda merasa mendapatkan teman yang bisa mendengarkan keluh-kesahnya, berbagi beban penderitaan hidup yang baru ia alami, dan menumbuhkan kembali senyum di wajah Amanda. Suatu ketika, mereka saling suka.

Namun lagi-lagi Amanda melakukan tindakan ceroboh. Sang pria yang sudah mempunyai kekasih meminta Amanda untuk datang ke rumah ketika kekasih pria itu sedang pergi berlibur beberapa hari. Di rumah tersebut, mereka berdua melakukan hubungan badan.

Seperti bom yang akhirnya meledak, pesan singkat yang dia terima dari kekasih pria itu seminggu kemudian berisi caci maki terburuk yang pernah diterima oleh gadis berusia 13 tahun. Bukan itu saja, di hadapan sekitar 50 teman sekolah barunya, kekasih sang pria bersama 15 teman –termasuk pria yang meniduri Amanda—mencaci-maki Amanda. “Lihatlah! Tidak ada yang menyukaimu di dunia ini!” cemooh mereka.

Beberapa orang juga mendorongnya sampai terjatuh, bahkan meninjunya. Ada beberapa orang yang merekam kejadian itu dengan telepon gengamnya. Amanda hanya bisa menangis. Sampai akhirnya beberapa guru dan ayah Amanda datang dan membawanya pulang.

Kekalutan Amanda sudah sampai pada puncaknya. “Aku sangat ingin mati,” kata Amanda dalam catatannya. Sesampai di rumah, Amanda menenggak cairan pemutih pakaian (bleach). Orangtua Amanda menemukan putrinya dalam keadaan sekarat dan langsung melarikannya ke rumah sakit. Nyawanya tertolong.

Sesampai di rumah, Amanda tidak menemukan satu pun alasan untuk mempertahankan hidupnya. Bahkan keputusannya untuk mengakhiri hidup dengan meminum cairan pemutih pun menjadi olok-olok di dunia maya. Muka Amanda dengan botol pemutih tersebar di mana-mana, dengan kata-kata ejekan yang menyakitkan. Di Facebook-nya pun banyak olok-olok, bahkan menyarankan Amanda untuk meminum cairan pemutih pakaian jenis lain supaya “berhasil” bunuh diri.

Perundungan itu terjadi selama berbulan-bulan, cacian demi cacian yang buat mereka menyenangkan; semakin menyakitkan semakin banyak yang dibuat tertawa. Gadis 13 tahun mana yang mampu menyandang beban malu sebesar itu?

Video diri

Amanda sudah tidak mampu lagi bertemu orang di luar sana. Dia berhenti sekolah, hidupnya hanya untuk menyesali diri. Orangtuanya sudah berusaha memperbaiki psikis putrinya dengan membawanya ke sekolah khusus, mendatangkan psikiater, namun percuma. Amanda sudah tercabik terlalu parah.

Percobaan bunuh diri terus saja dilakukan Amanda, dengan mencoba menyayat pergelangan tangannya. Obat anti-depresan menjadi sahabat sejati Amanda, sampai akhirnya dia overdosis dan kembali dilarikan ke rumah sakit.

Nyawanya kembali tertolong. Amanda kembali ke rumah, namun jiwanya sudah lama mati. Di tengah tekanan yang sudah sedemikian parah, pada 7 September 2012, Amanda memutuskan untuk menceritakan kepada dunia apa yang dia rasakan.

Dia membuat video diri. Di video hitam-putih berjudul “Amanda Todd's Story: Struggling, Bullying, Suicide, Self Harm” yang berdurasi sekitar 9 menit ini, Amanda bercerita tentang kisah pilu hidupnya melalui tulisan di atas lembaran kartu berukuran sekitar 15x10 cm.

Dukungan moral kepada Amanda tidak mampu membendung perundungan yang semakin hari justru makin hebat. Akhirnya, pada hari Rabu, 10 Oktober 2012, beberapa minggu sebelum ulang tahunnya yang ke-16, dia kembali memutuskan untuk bunuh diri. Jasadnya ditemukan tergantung di kamarnya, Port Coquitlam, Kanada.

Kini sang ayah, Norm Todd, harus datang sendirian ke studio tato untuk membuat tato simbol kekuatan di lengannya. Hal terakhir yang bisa dia lakukan untuk putri tercintanya.

Mengejar Mr.X

Setelah kejadian itu, banyak dukungan mengalir ke keluarga Amanda Todd. Video Amanda sampai saat ini sudah ditonton sebanyak 5.000-an orang. Para aktivis anti-bullying mendorong pihak berwajib mencari si Mr.X, yang menjadi penyebab utama penderitaan Amanda.

Anonymous, kelompok hacker yang sering terlibat dalam pengungkapan kejahatan via internet, sudah mencoba melacak pelaku penyebaran foto telanjang dada Amanda. Lima hari setelah kematian Amanda, Anonymous sudah mengumumkan satu nama yang diduga kuat nama asli Mr. X, seorang pedofil yang juga aktif di website porno, khususnya pedofilia.

Namun, pihak kepolisian Kanada tidak mau gegabah dengan menjadikan orang yang disebutkan Anonymous via Youtube itu menjadi target utama. Hal itu karena pihak kepolisian mempunyai metode sendiri dalam pelacakan pelaku, dan sudah mengantongi beberapa nama.

“Saya kehilangan satu putri. Namun saya tahu, Amanda ingin kisahnya dapat menyelamatkan 1.000 anak perempuan lainnya,” kata Carol Todd, sang bunda. “Saya ingin menceritakan kisah ini untuk membantu para orangtua sehingga mereka waspada dan memberitahu anaknya mana yang benar dan salah, serta bagaimana anaknya tetap terlindungi di dunia maya,” lanjut Carol. (dari berbagai sumber)


Rabu, 25 Desember 2013

Banana - Things people do when nobody's there


inilah yang biasa dilakukan saat tidak ada orang di sekitar. hayoo ngaku :p hahaha

Cita-cita yang tertunda


Alkisah, ada seorang pemuda yang hidup di keluarga sederhana. Ia mempunyai cita-cita yang tinggi. Suatu saat, ketika masih belia, dia berkata kepada dirinya sendiri,”suatu saat nanti, aku akan melakukan apa yang menjadi cita-cita dalam hidupku, dan pada saat itu aku akan bahagia.”

Dia senang membayangkan dirinya sudah memiliki mobil mewah, mengendarainya, dan merasakan kebanggaan yang tak terhingga karena dia dikagumi dan dibanggakan oleh banyak orang. Maka, walaupun kemiskinan tetap diakrabi dalam kesehariannya, sikapnya menjadi angkuh dan sombong karena dia merasa kelak pasti akan kaya raya seperti  yang diangankan.

Ketika ditanya untuk melakukan sesuatu oleh teman-temannya, ia menjawab, “tunggu saja kawan, nanti akan kulakukan setelah aku menyelesaikan sekolah.”

Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan hingga ke perguruan tinggi, ia kembali berjanji kepada dirinya sendiri dan kepada orangtuanya bahwa ia akan melakukan apa yang diinginkannya nanti, setelah ia mendapatkan pekerjaan pertamanya.

Sebelum melangkah ke dunia kerja, dia meminta nasihat kepada seorang guru besar tentang banyak hal yang dicita-citakan. Si guru berkata, “semua yang kamu inginkan, mobil dan rumah bagus lengkap dengan fasilitasnya, adalah sesuatu yang bagus. Dan sesungguhnya, mobil dan rumah mewah itu diciptakan untuk kita yang mau dan mampu memilikinya. Dia tidak kemana-mana, kitalah yang harus bergerak untuk menghampiri dan mendapatkannya.”

Mendengar tuturan si guru, pemuda itu merasa puas. Sebab, ia makin yakin dengan anggapannya bahwa mobil dan rumah tidak akan kemana-mana. Maka, ia pun bekerja seadanya. Setelah beberapa tahun bekerja, orangtuanya menanyakan, “anakku, kapan kamu akan mengambil tindakan untuk mewujudkan cita-citamu?”

“aku berjanji akan mengejar cita-citaku setelah menikahi gadis yang aku cintai. Karena dengan adanya si dia sebagai pendamping hidup, maka langkahku akan mantap untuk mengejar cita-citaku.”
Sampai sutu hari, setelah bertahun-tahun kemudian, ia mulai menua. Dalam hati, ia pun berkata, “rupanya, sudah terlambat untuk memulainya sekarang. Sebab, umurku sudah tak lagi muda.”


Begitulah, cita-cita si pemuda akhirnya hanya menjadi angan-angan dan omong kosong belaka. Kini, ia hanya bisa merasakan kepuasan semu dengan menikmati setiap hari dalam kehidupannya untuk mengkhayal, seandainya ia menjadi seperti yang ia cita-citakan.

dari berbagai sumber
just share :)

Misteri matematika dalam kehidupan


Pernahkah anda berpikir bahwa :
1. mengapa plus dikali plus hasilnya plus?
2. mengapa plus dikali minus hasilnya minus?
3. mengapa minus dikali minus hasilnya plus?

Hikmahnya adalah… (+)plus=benar, (-)minus=salah

1. mengatakan benar terhadap sesuatu yang benar adalah suatu tindakan yang benar (+x+=+)
2. mengatakan benar terhadap sesuatu yang salah atau sebaliknya mengatakan salah terhadap sesuatu yang benar adalah suatu tindakan yang salah
(+x - = -) dan (- x+= -)
3. mengatakan salah terhadap sesuatu yang salah adalah suatu tindakan yang benar (- x - = +)

Pelajaran matematika yang terkesan sederhana itu ternyata mengandung sarat makna kebenaran yang bisa kita ambil sebagai pelajaran hidup.

-Semoga bermanfaat-
Just share :)


Minggu, 22 Desember 2013

kasih sayang seorang ibu


 Video ini pertama kali saya lihat di wihara. setelah melihat video ini saya merasa betapa besar kasih seorang ibu terhadap anaknya. walaupun butuh pengorbanan yang luar biasa, sang ibu tetap ingin memberikan kasih sayangnya terhadap anaknya. jadi saya share video ini agar kalian semua juga bisa melihat betapa kasih sayang seorang ibu itu begitu besar bagi setiap anak-anaknya.

semoga bermanfaat
just share :)

Kasih sayang seorang ibu tanpa batas dan tanpa syarat ( shi shang zi you mama hao )

Alkisah, ada sepasang kekasih yang hidup saling mencintai. Sang pria berasal dari keluarga kaya raya dan merupakan orang yang terpandang di kota tersebut. Sedangkan sang wanita adalah seorang yatim piatu, hidup serba kekurangan tetapi cantik, lemah lembut, dan baik hati. Kelebihan inilah yang membuat sang pria jatuh hati.


Sang wanita hamil di luar nikah. Sang pria lalu mengajaknya menikah, dengan membawa sang wanita ke rumahnya. Seperti yang sudah mereka duga, orang tua sang pria tidak menyukai wanita tersebut. Sebagai orang yang terpandang di kota tersebut, latar belakang wanita tersebut akan merusak reputasi keluarga. Sebaliknya, mereka bahkan telah mencarikan jodoh yang sepadan untuk anaknya. Sang pria berusaha menyakinkan orang tuanya, bahwa ia sudah menetapkan keputusannya, apapun resikonya bagi dia.

Sang wanita merasa tak berdaya, tetapi sang pria menyakinkan wanita tersebut bahwa tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Sang pria terus berargumen dengan orang tuanya bahkan membantah perkataan orangtuanya, sesuatu yang belum pernah dilakukannya selama hidupnya (di zaman dulu, umumnya seorang anak sangat patuh pada orang tuanya).

Sebulan telah berlalu, sang pria gagal untuk membujuk orangtuanya agar menerima calon istrinya. Sang orang tua juga menjadi stress karena gagal membujuk anak satu-satunya agar berpisah dengan wanita tersebut yang menurut mereka akan sangat merugikan masa depannya.

Sang pria akhirnya menetapkan pilihan untuk kawin lari. Ia memutuskan untuk meninggalkan semuanya demi sang kekasih. Waktu keberangkatan pun ditetapkan, tetapi rupanya rencana ini diketahui oleh orang tua sang pria. Maka ketika saatnya tiba, sang orangtua mengunci anaknya di dalam kamar dan dijaga ketat oleh para bawahan di rumahnya yang besar. 

Sebagai gantinya, kedua orang tua datang ke tempat yang telah ditentukan sepasang kekasih tersebut untuk melarikan diri. Sang wanita sangat terkejut dengan kedatangan ayah dan ibu sang pria. Mereka kemudian memohon pengertian dari sang wanita, agar meninggalkan anak mereka satu-satunya. Menurut mereka, dengan perbedaan status sosial yang sangat besar, perkawinan mereka hanya akan menjadi gunjingan seluruh penduduk kota, reputasi anaknya akan tercemar dan orang-orang tidak akan menghormatinya lagi. Akibatnya, bisnis yang akan diwariskan kepada anak mereka akan bangkrut secara perlahan-lahan.

Mereka bahkan memberikan uang dalam jumlah banyak, dengan permohonan agar wanita tersebut meninggalkan kota ini, tidak bertemu dengan anaknya lagi dan menggugurkan kandungannya. Uang tersebut dapat digunakan untuk membiayai hidupnya di tempat lain.

Sang wanita menangis tersedu-sedu, dalam hati kecilnya ia sadar bahwa perbedaan status sosial yang sangat jauh, akan menimbulkan banyak kesulitan bagi kekasihnya. Akhirnya, ia setuju untuk meninggalkan kota ini, tetapi menolak untuk menerima uang tersebut. Ia mencintai sang pria, bukan uangnya. Walaupun ia sepenuhnya sadar, jalan hidupnya ke depan akan sangat sulit?.

Ibu sang pria kembali memohon kepada wanita tersebut untuk meninggalkan sepucuk surat kepada mereka, yang menyatakan bahwa ia memilih berpisah dengan sang pria. Ibu sang pria kuatir anaknya akan terus mencari kekasihnya, dan tidak mau meneruskan usaha orang tuanya. “Walaupun ia kelak bukan suamimu, bukankah Anda ingin melihatnya sebagai seseorang yang berhasil? Ini adalah untuk kebaikan kalian berdua”, kata sang ibu.

Dengan berat hati, sang wanita menulis surat. Ia menjelaskan bahwa ia sudah memutuskan untuk pergi meninggalkan sang pria. Ia sadar bahwa keberadaannya hanya akan merugikan sang pria. Ia minta maaf karena telah melanggar janji setia mereka berdua, bahwa mereka akan selalu bersama dalam menghadapi penolakan-penolakan akibat perbedaan status sosial mereka. Ia tidak kuat lagi menahan penderitaan ini, dan memutuskan untuk berpisah.

Tetesan air mata sang wanita tampak membasahi surat tersebut. Sang wanita yang malang tersebut tampak tidak punya pilihan lain. Ia terjebak antara moral dan cintanya. Sang wanita segera meninggalkan kota itu, sendirian. Ia menuju sebuah desa yang lebih terpencil. Disana, ia bertekad untuk melahirkan dan membesarkan anaknya.

Detik .. Menit …. Jam …. Hari …. Minggu ………Tahun …… Tak terasa Tiga tahun telah berlalu. Ternyata wanita tersebut telah menjadi seorang ibu. Anaknya seorang laki-laki. Sang ibu bekerja keras siang dan malam, untuk membiayai kehidupan mereka. Di pagi dan siang hari, ia bekerja di sebuah industri rumah tangga, malamnya, ia menyuci pakaian2 tetangga dan menyulam sesuai dengan pesanan pelanggan. Kebanyakan ia melakukan semua pekerjaan ini sambil menggendong anak di punggungnya. Walaupun ia cukup berpendidikan, ia menyadari bahwa pekerjaan lain tidak memungkinkan, karena ia harus berada di sisi anaknya setiap saat.

Tetapi sang ibu tidak pernah mengeluh dengan pekerjaannya. Di usia tiga tahun, suatu saat, sang anak tiba-tiba sakit keras. Demamnya sangat tinggi. Ia segera dibawa ke rumah sakit setempat. Anak tersebut harus menginap di rumah sakit selama beberapa hari. Biaya pengobatan telah menguras habis seluruh tabungan dari hasil kerja kerasnya selama ini, dan itupun belum cukup. Ibu tersebut akhirnya juga meminjam ke sana-sini, kepada siapapun yang bermurah hati untuk memberikan pinjaman.

Saat diperbolehkan pulang, sang dokter menyarankan untuk membuat sup ramuan, untuk mempercepat kesembuhan putranya. Ramuan tersebut terdiri dari obat-obatan herbal dan daging sapi untuk dikukus bersama. Tetapi sang ibu hanya mampu membeli obat-obat herbal tersebut, ia tidak punya uang sepeserpun lagi untuk membeli daging. Untuk meminjam lagi, rasanya tak mungkin, karena ia telah berutang kepada semua orang yang ia kenal, dan belum terbayar.

Ketika di rumah, sang ibu menangis. Ia tidak tahu harus berbuat apa, untuk mendapatkan daging. Toko daging di desa tersebut telah menolak permintaannya, untuk bayar di akhir bulan saat gajian. Diantara tangisannya, ia tiba-tiba mendapatkan ide. Ia mencari alkohol yang ada di rumahnya, sebilah pisau dapur, dan sepotong kain. Setelah pisau dapur dibersihkan dengan alkohol, sang ibu nekad mengambil sekerat daging dari pahanya. Agar tidak membangunkan anaknya yang sedang tidur, ia mengikat mulutnya dengan sepotong kain. Darah berhamburan. Sang ibu tengah berjuang mengambil dagingnya sendiri, sambil berusaha tidak mengeluarkan suara kesakitan yang teramat sangat?..

Hujan lebatpun turun. Lebatnya hujan menyebabkan rintihan kesakitan sang ibu tidak terdengar oleh para tetangga, terutama oleh anaknya sendiri. Tampaknya langit juga tersentuh dengan pengorbanan yang sedang dilakukan oleh sang ibu.

Enam tahun telah berlalu, anaknya tumbuh menjadi seorang anak yang tampan, cerdas, dan berbudi pekerti. Ia juga sangat sayang ibunya. Di hari minggu, mereka sering pergi ke taman di desa tersebut, bermain bersama, dan bersama-sama menyanyikan lagu “Shi Sang Chi You Mama Hau” (terjemahannya “Di Dunia ini, hanya ibu seorang yang baik”).

Sang anak juga sudah sekolah. Sang ibu sekarang bekerja sebagai penjaga toko, karena ia sudah bisa meninggalkan anaknya di siang hari. Hari-hari mereka lewatkan dengan kebersamaan, penuh kebahagiaan. Sang anak terkadang memaksa ibunya, agar ia bisa membantu ibunya menyuci di malam hari. Ia tahu ibunya masih menyuci di malam hari, karena perlu tambahan biaya untuk sekolahnya. Ia memang seorang anak yang cerdas. Ia juga tahu, bulan depan adalah hari ulang tahun ibunya. Ia berniat membelikan sebuah jam tangan, yang sangat didambakan ibunya selama ini. Ibunya pernah mencobanya di sebuah toko, tetapi segera menolak setelah pemilik toko menyebutkan harganya. Jam tangan itu sederhana, tidak terlalu mewah, tetapi bagi mereka, itu terlalu mahal. Masih banyak keperluan lain yang perlu dibiayai.

Sang anak segera pergi ke toko tersebut, yang tidak jauh dari rumahnya. Ia meminta kepada kakek pemilik toko agar menyimpan jam tangan tersebut, karena ia akan membelinya bulan depan. “Apakah kamu punya uang?” tanya sang pemilik toko. “Tidak sekarang, nanti saya akan punya”, kata sang anak dengan serius. Ternyata, bulan depan sang anak benar-benar muncul untuk membeli jam tangan tersebut. Sang kakek juga terkejut, kiranya sang anak hanya main-main. Ketika menyerahkan uangnya, sang kakek bertanya “Dari mana kamu mendapatkan uang itu? Bukan mencuri kan?”. “Saya tidak mencuri, kakek. Hari ini adalah hari ulang tahun ibuku. Saya biasanya naik becak pulang pergi ke sekolah. Selama sebulan ini, saya berjalan kaki saat pulang dari sekolah ke rumah, uang jajan dan uang becaknya saya simpan untuk beli jam ini. Kakiku sakit, tapi ini semua untuk ibuku. O ya, jangan beritahu ibuku tentang hal ini. Ia akan marah” kata sang anak. Sang pemilik toko tampak kagum pada anak tersebut.

Seperti biasanya, sang ibu pulang dari kerja di sore hari. Sang anak segera memberikan ucapan selamat pada ibu, dan menyerahkan jam tangan tersebut. Sang ibu terkejut bercampur haru, ia bangga dengan anaknya. Jam tangan ini memang adalah impiannya. Tetapi sang ibu tiba-tiba tersadar, dari mana uang untuk membeli jam tersebut. Sang anak tutup mulut, tidak mau menjawab. “Apakah kamu mencuri, Nak?” Sang anak diam seribu bahasa, ia tidak ingin ibu mengetahui bagaimana ia mengumpulkan uang tersebut. Setelah ditanya berklai-kali tanpa jawaban, sang ibu menyimpulkan bahwa anaknya telah mencuri. “Walaupun kita miskin, kita tidak boleh mencuri. Bukankah ibu sudah mengajari kamu tentang hal ini?” kata sang ibu.

Lalu ibu mengambil rotan dan mulai memukul anaknya. Biarpun ibu sayang pada anaknya, ia harus mendidik anaknya sejak kecil. Sang anak menangis, sedangkan air mata sang ibu mengalir keluar. Hatinya begitu perih, karena ia sedang memukul belahan hatinya. Tetapi ia harus melakukannya, demi kebaikan anaknya. Suara tangisan sang anak terdengar keluar. Para tetangga menuju ke rumah tersebut heran, dan kemudian prihatin setelah mengetahui kejadiannya. “Ia sebenarnya anak yang baik”, kata salah satu tetangganya.

Kebetulan sekali, sang pemilik toko sedang berkunjung ke rumah salah satu tetangganya yang merupakan familinya. Ketika ia keluar melihat ke rumah itu, ia segera mengenal anak itu. Ketika mengetahui persoalannya, ia segera menghampiri ibu itu untuk menjelaskan. Tetapi tiba-tiba sang anak berlari ke arah pemilik toko, memohon agar jangan menceritakan yang sebenarnya pada ibunya.

“Nak, ketahuilah, anak yang baik tidak boleh berbohong, dan tidak boleh menyembunyikan sesuatu dari ibunya”. Sang anak mengikuti nasehat kakek itu. Maka kakek itu mulai menceritakan bagaimana sang anak tiba-tiba muncul di tokonya sebulan yang lalu, memintanya untuk menyimpan jam tangan tersebut, dan sebulan kemudian akan membelinya. Anak itu muncul siang tadi di tokonya, katanya hari ini adalah hari ulang tahun ibunya. Ia juga menceritakan bagaimana sang anak berjalan kaki dari sekolahnya pulang ke rumah dan tidak jajan di sekolah selama sebulan ini, untuk mengumpulkan uang membeli jam tangan kesukaan ibunya.

Tampak sang kakek meneteskan air mata saat selesai menjelaskan hal tersebut, begitu pula dengan tetangganya. Sang ibu segera memeluk anak kesayangannya, keduanya menangis dengan tersedu-sedu.”Maafkan saya, Nak.”

“Tidak Bu, saya yang bersalah”

Sementara itu, ternyata ayah dari sang anak sudah menikah, tetapi istrinya mandul. Mereka tidak punya anak. Sang orangtua sangat sedih akan hal ini, karena tidak akan ada yang mewarisi usaha mereka kelak. Ketika sang ibu dan anaknya berjalan-jalan ke kota, dalam sebuah kesempatan, mereka bertemu dengan sang ayah dan istrinya. Sang ayah baru menyadari bahwa sebenarnya ia sudah punya anak dari darah dagingnya sendiri. Ia mengajak mereka berkunjung ke rumahnya, bersedia menanggung semua biaya hidup mereka, tetapi sang ibu menolak. Kami bisa hidup dengan baik tanpa bantuanmu.

Berita ini segera diketahui oleh orang tua sang pria. Mereka begitu ingin melihat cucunya, tetapi sang ibu tidak mau mengizinkan. Di pertengahan tahun, penyakit sang anak kembali kambuh. Dokter mengatakan bahwa penyakit sang anak butuh operasi dan perawatan yang konsisten. Kalau kambuh lagi, akan membahayakan jiwanya. Keuangan sang ibu sudah agak membaik, dibandingkan sebelumnya. Tetapi biaya medis tidaklah murah, ia tidak sanggup membiayainya. Sang ibu kembali berpikir keras. Tetapi ia tidak menemukan solusi yang tepat. Satu-satunya jalan keluar adalah menyerahkan anaknya kepada sang ayah, karena sang ayahlah yang mampu membiayai perawatannya.

Maka di hari Minggu ini, sang ibu kembali mengajak anaknya berkeliling kota, bermain-main di taman kesukaan mereka. Mereka gembira sekali, menyanyikan lagu “Shi Sang Chi You Mama Hau”, lagu kesayangan mereka. Untuk sejenak, sang ibu melupakan semua penderitaannya, ia hanyut dalam kegembiraan bersama sang anak. Sepulang ke rumah, ibu menjelaskan keadaannya pada sang anak. Sang anak menolak untuk tinggal bersama ayahnya, karena ia hanya ingin dengan ibu. “Tetapi ibu tidak mampu membiayai perawatan kamu, Nak” kata ibu. “Tidak apa-apa Bu, saya tidak perlu dirawat. Saya sudah sehat, bila bisa bersama-sama dengan ibu. Bila sudah besar nanti, saya akan cari banyak uang untuk biaya perawatan saya dan untuk ibu. Nanti, ibu tidak perlu bekerja lagi, Bu”, kata sang anak. Tetapi ibu memaksa akan berkunjung ke rumah sang ayah keesokan harinya. Penyakitnya memang bisa kambuh setiap saat.

Disana ia diperkenalkan dengan kakek dan neneknya. Keduanya sangat senang melihat anak imut tersebut. Ketika ibunya hendak pulang, sang anak meronta-ronta ingin ikut pulang dengan ibunya. Walaupun diberikan mainan kesukaan sang anak, yang tidak pernah ia peroleh saat bersama ibunya, sang anak menolak. “Saya ingin Ibu, saya tidak mau mainan itu”, teriak sang anak dengan nada yang polos. Dengan hati sedih dan menangis, sang ibu berkata “Nak, kamu harus dengar nasehat ibu. Tinggallah di sini. Ayah, kakek dan nenek akan bermain bersamamu.” “Tidak, aku tidak mau mereka. Saya hanya mau ibu, saya sayang ibu, bukankah ibu juga sayang saya? Ibu sekarang tidak mau saya lagi”, sang anak mulai menangis.

Bujukan demi bujukan ibunya untuk tinggal di rumah besar tersebut tidak didengarkan anak kecil tersebut. Sang anak menangis tersedu-sedu “Kalau ibu sayang padaku, bawalah saya pergi, Bu”. Sampai pada akhirnya, ibunya memaksa dengan mengatakan “Benar, ibu tidak sayang kamu lagi. Tinggallah disini”, ibunya segera lari keluar meninggalkan rumah tersebut. Tampak anaknya meronta-ronta dengan ledakan tangis yang memilukan.

Di rumah, sang ibu kembali meratapi nasibnya. Tangisannya begitu menyayat hati, ia telah berpisah dengan anaknya. Ia tidak diperbolehkan menjenguk anaknya, tetapi mereka berjanji akan merawat anaknya dengan baik. Diantara isak tangisnya, ia tidak menemukan arti hidup ini lagi. Ia telah kehilangan satu-satunyanya alasan untuk hidup, anaknya tercinta.

Kemudian ibu yang malang itu mengambil pisau dapur untuk memotong urat nadinya. Tetapi saat akan dilakukan, ia sadar bahwa anaknya mungkin tidak akan diperlakukan dengan baik. Tidak, ia harus hidup untuk mengetahui bahwa anaknya diperlakukan dengan baik. Segera, niat bunuh diri itu dibatalkan, demi anaknya juga……….

Setahun berlalu. Sang ibu telah pindah ke tempat lain, mendapatkan kerja yang lebih baik lagi. Sang anak telah sehat, walaupun tetap menjalani perawatan medis secara rutin setiap bulan.

Seperti biasa, sang anak ingat akan hari ulang tahun ibunya. Uang pun dapat ia peroleh dengan mudah, tanpa perlu bersusah payah mengumpulkannya. Maka, pada hari tersebut, sepulang dari sekolah, ia tidak pulang ke rumah, ia segera naik bus menuju ke desa tempat tinggal ibunya, yang memakan waktu beberapa jam. Sang anak telah mempersiapkan setangkai bunga, sepucuk surat yang menyatakan ia setiap hari merindukan ibu, sebuah kartu ucapan selamat ulang tahun, dan nilai ujian yang sangat bagus. Ia akan memberikan semuanya untuk ibu.

Sang anak berlari riang gembira melewati gang-gang kecil menuju rumahnya. Tetapi ketika sampai di rumah, ia mendapati rumah ini telah kosong. Tetangga mengatakan ibunya telah pindah, dan tidak ada yang tahu kemana ibunya pergi. Sang anak tidak tahu harus berbuat apa, ia duduk di depan rumah tersebut, menangis “Ibu benar-benar tidak menginginkan saya lagi.”

Sementara itu, keluarga sang ayah begitu cemas, ketika sang anak sudah terlambat pulang ke rumah selama lebih dari 3 jam. Guru sekolah mengatakan semuanya sudah pulang. Semua tempat sudah dicari, tetapi tidak ada kabar. Mereka panik. Sang ayah menelpon ibunya, yang juga sangat terkejut. Polisi pun dihubungi untuk melaporkan anak hilang.

Ketika sang ibu sedang berpikir keras, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Ia terlalu sibuk sampai melupakannya. Anaknya mungkin pulang ke rumah. Maka sang ayah dan sang ibu segera naik mobil menuju rumah tersebut. Sayangnya, mereka hanya menemukan kartu ulang tahun, setangkai bunga, nilai ujian yang bagus, dan sepucuk surat anaknya. Sang ibu tidak mampu menahan tangisannya, saat membaca tulisan-tulisan imut anaknya dalam surat itu.

Hari mulai gelap. Mereka sibuk mencari di sekitar desa tersebut, tanpa mendapatkan petunjuk apapun. Sang ibu semakin resah. Kemudian sang ibu membakar dupa, berlutut di hadapan altar Dewi Kuan Im, sambil menangis ia memohon agar bisa menemukan anaknya. Seperti mendapat petunjuk, sang ibu tiba-tiba ingat bahwa ia dan anaknya pernah pergi ke sebuah kuil Kuan Im di desa tersebut. Ibunya pernah berkata, bahwa bila kamu memerlukan pertolongan, mohonlah kepada Dewi Kuan Im yang welas asih. Dewi Kuan Im pasti akan menolongmu, jika niat kamu baik. Ibunya memprediksikan bahwa anaknya mungkin pergi ke kuil tersebut untuk memohon agar bisa bertemu dengan dirinya.

Benar saja, ternyata sang anak berada di sana. Tetapi ia pingsan, demamnya tinggi sekali. Sang ayah segera menggendong anaknya untuk dilarikan ke rumah sakit. Saat menuruni tangga kuil, sang ibu terjatuh dari tangga, dan berguling-guling jatuh ke bawah.

Sepuluh tahun sudah berlalu. Kini sang anak sudah memasuki bangku kuliah. Ia sering beradu mulut dengan ayah, mengenai persoalan ibunya. Sejak jatuh dari tangga, ibunya tidak pernah ditemukan. Sang anak telah banyak menghabiskan uang untuk mencari ibunya kemana-mana, tetapi hasilnya nihil. Siang itu, seperti biasa sehabis kuliah, sang anak berjalan bersama dengan teman wanitanya. Mereka tampak serasi. Saat melaju dengan mobil, di persimpangan sebuah jalan, ia melihat seorang wanita tua yang sedang mengemis. Ibu tersebut terlihat kumuh, dan tampak memakai tongkat. Ia tidak pernah melihat wanita itu sebelumnya. Wajahnya kumal, dan ia tampak berkomat-kamit. Di dorong rasa ingin tahu, ia menghentikan mobilnya, dan turun bersama pacar untuk menghampiri pengemis tua itu.

Ternyata sang pengemis tua sambil mengacungkan kaleng kosong untuk minta sedekah, ia berucap dengan lemah “Dimanakah anakku? Apakah kalian melihat anakku?”. Sang anak merasa mengenal wanita tua itu. Tanpa disadari, ia segera menyanyikan lagu “Shi Sang Ci You Mama Hau” dengan suara perlahan, tak disangka sang pengemis tua ikut menyanyikannya dengan suara lemah. Mereka berdua menyanyi bersama. Ia segera mengenal suara ibunya yang selalu menyanyikan lagu tersebut saat ia kecil, sang anak segera memeluk pengemis tua itu dan berteriak dengan haru “Ibu? Ini saya ibu”.

Sang pengemis tua itu terkejut, ia meraba-raba muka sang anak, lalu bertanya, “Apakah kamu ??..(nama anak itu)?” “Benar bu, saya adalah anak ibu?”. Keduanya pun berpelukan dengan erat, air mata keduanya berbaur membasahi bumi. Karena jatuh dari tangga, sang ibu yang terbentur kepalanya menjadi hilang ingatan, tetapi ia setiap hari selama sepuluh tahun terus mencari anaknya, tanpa peduli dengan keadaaan dirinya. Sebagian orang menganggapnya sebagai orang gila.

=========================

Perenungan untuk kita renungkan bersama-sama :

Dalam kondisi kritis, Ibu kita akan melakukan apa saja demi kita. Ibu bahkan rela mengorbankan nyawanya.. Simaklah penggalan doa keputusasaan berikut ini, di saat Ibu masih muda, ataupun disaat Ibu sudah tua :

1. Anakku masih kecil, masa depannya masih panjang. Oh Tuhan, ambillah aku sebagai gantinya.

2. Aku sudah tua, Oh Tuhan, ambillah aku sebagai gantinya.

Diantara orang-orang disekeliling Anda, yang Anda kenal, Saudara/I kandung Anda, diantara lebih dari 6 Milyar manusia, siapakah yang rela mengorbankan nyawanya untuk Anda, kapan pun, dimana pun, dengan cara apapun ………..

Tidak diragukan lagi “Ibu kita adalah Orang Yang Paling Mulia di dunia ini”. Ingin bergabung dalam sebuah MISI MULIA ?

Sumber : SL-Books
Just share :)

Seorang istri yang berwajah buruk dengan hati BODHISATVA



       Sudah tiga tahun lamanya mata sebelah kanan saya terkena infeksi dan membengkak hingga merah, dokter mengatakan bahwa saya terkena radang selaput bening, mata kanan saya sudah tidak bisa melihat sama sekali sedangkan mata sebelah kiri saya sudah tidak jelas lagi. “kemungkinan mata kamu terjangkit melalui handuk yang kotor atau saat berenang.” Dokter menjelaskan apa yang menyebabkan penyakit mata saya. “dahulu saya pernah memberikan pelajaran olah raga, juga seorang pelatih renang”.” Nah, kemungkinan mata kamu terjangkit melalui media tersebut”, kata dokter.
        Setahun kemudian, saya mendengar berita bahwa dengan operasi cangkok mata dapat memulihkan kembali penglihatan mata sebelah kanan saya. Saya menyampaikan kabar baik ini kepada istri saya. Setelah mendengar hal ini, istri saya terdiam dan berpikir sejenak, lalu masuk ke kamar mengambil buku tabungan yang isinya kurang lebih 20.000 NT dan di serahkannya kepada saya, selama bertahun-tahun ia telah dengan hemat menyisihkan uang untuk ditabung.” Bila 20.000 NT ini belum cukup, kita cari jalan lain lagi” kata istri saya. Saya tidak mau menerima uangnya yang dengan susah payah ia tabung, tetapi ia mengatakan “kamu tidak seperti saya, walaupun mata saya tidak buta, tetapi seperti orang buta karena saya tidak mengenal huruf, kamu juga tidak akan leluasa bila membaca dan menulis hanya dengan satu mata”, akhirnya saya pun menerima tawarannya dan segera pergi ke rumah sakit.
        Dokter Chow adalah seorang dokter mata yang sangat berpengalaman. Untuk dapat melakukan operasi mata , saya harus menunggu kornea mata yang sehat dari orang lain. Ternyata tidak sampai 1 bulan, dokter chow telah menelepon saya dan mengatakan ada seorang supir truk mengalami kecelakaan dan luka parah, sebelum meninggal ia berpesan kepada istrinya, seluruh organ tubuhnya yang masih dapat digunakan harap dijual saja agar dpat menghasilkan uang, uang tersebut kelak untuk biaya anak-anak mereka yang masih kecil. Maukah kamu mengeluarkan uang 4 juta untuk mereka?” Tanya dokter chow. Saya hitung-hitung biaya operasi dan obat-obatan termasuk biaya inap tidak sampai 4 juta, sehingga saya pun segera menyetujuinya, banyak orang yang harus menunggu lama untuk mendapatkan kornea mata dari orang lain, saya sungguh beruntung bisa dengan cepat mendapatkannya. Dokter menyuruh saya untuk segera masuk ke rumah sakit keesokkan harinya. Saya merasa berterima kasih dan berhutang budi kepada istri yang telah memberikan dukungan dan bantuan dana. Setelah operasi saya selesai dan saya didorong keluar dari ruang operasi, anak perempuan saya siao rong berbisik dekat kuping “ operasinya sangat lancer, tadi sebenarnya  ibu ingin datang melihat ayah, tetapi takut ayah tidak senang.” “pulanglah dan katakan pada ibumu, saya tidak” apa-apa, tidak usah dilihat, tenang saja dan tidak perlu khawatir. Dulu saya pernah dirawat di rumah sakit, pada saat itu, istri saya juga tidak pernah datang melihat saya, karena saya tidak mau ia datang.
        Ketika menikah, umur saya baru 19 tahun, pernikahan kami telah dijodohkan sejak masih dalam kandungan, karena ayah dan mertua saya adalah sahabat karib, sehingga saat ibu kami mengandung mereka telah menjodohkan anak mereka yang akan lahir. Sebelum menikah saya tidak pernah melihat wajah istri saya, karena saya kuliah diluar kota. Pada hari pernikahan saya baru pulang ke rumah, pada malam pengantin, saya baru dapat melihat wajah istri dengan jelas, pada saat itu saya sungguh kaget dan kecewa ketika melihat wajahnya yang begitu jelek, tidak seperti apa yang saya idamkan. Boleh dibilang dari mata hingga mulut tidak ada satupun yang bisa dibanggakan, mukanya berlekuk-lekuk seperti jalan yang tidak merata, matanya lebam dan alis matanya jarang, ia baru berumur 19 tahun tapi terlihat seperti umur 40 tahun. Pada malam itu saya menangis di kamar ibu dan protes mengapa saya dijodohkan dengan gadis berwajah jelek. Ibu menasehati saya untuk menerima nasib dan  mengatakan perempuan yang jelek wajahnya lebih mempunyai rejeki, perempuan yang rupawan belum tentu membawa rejeki dan kadang-kadang berumur pendek. Namun tidak peduli bagaimana ibu menasehati saya, saya tetap tidak mau mendengar dan tidak mau menerima, hati ini memberontak dan rasanya sedih sekali. Saya tidak ingin sekamar dengan istri saya, juga tidak ingin bicara dengannya, saya sengaja tinggal di kost, pada saat liburan sekolah pun saya tidak ingin pulang. Akhirnya ayah menyuruh seorang kerabat dengan sedikit memaksa dan nasehat membawa saya pulang ke rumah.
        Sampai di rumah istri saya sedang menyiapkan makan malam, ia menyambut saya dengan senyuman, tetapi saya membuang muka dan tidak mau melihat dia, langsung menuju ke kamar ibu, seolah-olah tidak melihat siapapun di rumah.
        Setelah makan malam, ibu memanggil saya ke kamarnya dan mengatakan “nak, kamu sudah keterlaluan, istri kamu walaupun parasnya jelek, tetapi hatinya tidak jelek” “ya benar, sangat sangat cantik seperti bidadari!” dengan kesal saya mengejek “jika tidak, mana mungkin bisa jadi menantu kamu?” ibu menjadi marah sekali, lalu mengatakan “dia benar-benar menantu yang  sangat baik dan pengertian, selama 6 bulan di rumah kita, dari pagi hingga malam tidak berhenti bekerja, menyiapkan makanan dan segala kebutuhan ibu dan ayah kamu.
        Sikap kamu begitu buruk kepada dia, dia tidak pernah mengeluh satu kata pun, juga tidak pernah melihat dia menangis. Tetapi tahukah kamu, tangis air matanya mengalir ke dalam perut!” sikap ibu sedikit melunak, lalu beliau berkata “hidup ini hanya sekali saja, asalkan dia bisa melayani kamu dengan baik, bisa mengurusi rumah tangga dan merawat anak itu sudah cukup. Apakah kamu tega melihat orang terus menjanda? Kamu harus mempunyai timbang rasa jika orang lain terhadap kamu demikian, apakah kamu bisa terima?” semenjak itu saya baru mau sekamar dengan dia, tetapi hati saya masih tidak rela, dan rasanya hambar serta tak ada perasaan bahagia bersuami istri dengannya. Dia selalu menundukkan kepala kalau berbicara suaranya pelan seperti ketakutan. Kadang – kadang dengan nada kesal saya membentak, ia juga hanya tersenyum dan tidak berani membantah, kemudian menunduk lagi. Ia seperti segumpal kapas yang tidak punya pendirian dan juga tidak ada emosinya.
        Selama 30 tahun saya berumah tangga, saya jarang menampilkan wajah yang enak, juga tidak pernah berdua jalan di jalan raya, tidak terhitung beberapa kali, saya selalu diam-diam memaki dan mengumpat agar ia cepat mati. Mungkin karena wajah istri saya jelek,sehingga ia memiliki kesabaran dan kasih sayang yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh orang lain.
        Pada saat itu penghasilan saya sebagai pegawai negeri sangat kecil sekali, hanya cukup untuk mengenyangkan perut serta biaya obat-obatan anak yang sering sakit-sakitan. Kami tinggal di dekat pantai, selain harus menjaga kedua anak kami, istri saya terpaksa mencari biaya tambahan dengan menganyam tikar dan topi, ia juga membantu nelayan untuk menambal dan mengikat jaring ikan. Setelah pindah ke daerah bagian utara, ia bekerja di sebuah pabrik keramik dan melukis gambar pada keramik. Pada saat itu, saya jarang pulang ke rumah, saya tidak pernah bertanya bahkan risau terhadap biaya kebutuhan rumah tangga ataupun biaya sekolah anak. Sebenarnya kami dapat tinggal di asrama tentara yang sudah disediakan, tetapi kami tidak pernah tinggal disana, selain karena takut orang lain mengetahui saya mempunyai seorang istri yang jelek, istri saya sendiri juga takut bertemu dengan keluarga rekan atau komandan saya.
        Setelah pensiun dari tentara, kami pindah ke sebuah rumah kecil dan jauh dari kota. Anak pertama siao rong sudah lulus kuliah dan sekarang sedang mengajar di sebuah sekolah. Anak kedua kami masih kuliah diakademi angkatan bersenjata, nilainya sangat bagus, sekarang sedang sibuk dengan ujiannya, maka saya berpesan kepada siao rong jangan memberitahukan dia bahwa saya menjalankan operasi cangkok mata, agar tidak membuat dia khawatir dan terganggu konsentrasinya. Selama tinggal di rumah sakit, dalam benak saya selalu teringat pada masa lalu, selalu muncul wajah istri saya yang jelek namun penuh ketabahan. Saya menyesal telah menolak ia datang menjenguk saya. “ah… sudah tua seperti ini, anak juga sudah besar, kenapa masih terus saja mencari kesalahan?” setelah dua minggu berlalu, sudah saatnya jahitan operasi dibuka, hati saya tidak bisa memendam rasa kegembiraan, saya membayangkan orang sudah lama kehilangan kebebasan tiba-tiba mendapat kebebasan kembali, hatinya pasti juga seperti saya sekarang ini.
        Saya berkata kepada siao rong “nanti kalau sesudah pulang dari rumah sakit, kamu harus membawa papa ke kuburan yang telah memberikan kornea mata ini, papa ingin bersembahyang untuk berterima kasih kepada dia”
        Dokter membuka perban mata sebelah kanan saya, saya masih tidak berani membuka mata saya karena masih takut operasinya gagal. “melihat sinar tidak?”, Tanya dokter. Saya menggerak-gerakkan mata saya dan menjawab di atas sangat terang!” “itu adalah lampu operasi!”, dokter menepuk-nepuk bahu saya dan dengan senang mengatakan “teman, operasinya sukses!  Seminggu lagi anda boleh pulang ke rumah”
        Dalam satu minggu itu, penglihatan saya semakin jelas, disaat mau keluar dari rumah sakit, jendela, ranjang, dan gelas di atas meja sudah bisa terlihat dengan jelas semuanya. Siao rong yang menjemput saya.
        “mama di rumah sudah menyiapkan makanan kesukaan papa”, kata siao rong.” Dia adalah seorang istri yang baik dan juga seorang mama yang baik.” Saya mengucapkan kata-kata yang tersimpan dalam hari berpuluh-puluh tahun yang tidak pernah saya ucapkan. Kemudian kami pulang ke rumah dengan sebuah taksi di sepanjang jalan, siao rong hanya diam dan tidak berbicara.
        Sesampainya dirumah yang telah saya tinggalkan  dengan membawa sepiring sayur. Begitu melihat saya, ia tertegun sejenak, kemudian berburu-buru menundukkan kepalanya, dengan suara pelan ia berkata “sudah pulang ya” “terima kasih kamu telah memberikan saya cahaya terang” untuk pertama kali saya mengucapkan kata demikian. Ia menundukkan kepala dan berlalu disamping saya, piring sayur ditaruh diatas meja dan membelakangi saya, kedua tangan tiba-tiba memegang dinding, terdengar suara tangisnya, ia berkata “dengan kata-kata mu yang tadi sudah cukup, matipun saya sudah rela.” Pada saat itu siao rong dari luar berlari menghampiri ibunya, dengan menangis ia berteriak” ma, cepat beritahu papa kalau mata sebelah kanannya adalah kornea matamu” siao rong terus menggoyang-goyangkan bahu ibunya “cepat katakan, ma!” istri saya berhenti menangis dan dengan suara parau ia mengatakan “itu sudah seharusnya saya lakukan” saya terkejut mendengar ucapan mereka langsung meraih istri saya dan memegang kedua bahunya, dengan tangan gemetar saya mengamati matanya, bola matanya yang sebelah kiri sudah berubah menjadi warna putih kekosongan, seperti sebelum saya dioperasi.
        “cin hua” untuk pertama kalinya saya memanggil namanya, saya sungguh kaget dan tidak percaya apa yang saya lihat, “kenapa? Kenapa bisa demikian? “ saya  hampir sudah mau gila dan terus mengguncang-guncangkan bahunya yang kurus itu. “kenapa kamu lakukan itu?” saya berteriak-teriak dan bertanya sambil menangis.
        “karena… kamu adalah… suami saya!” dengan suara terisak-isak ia menjawab, setelah itu ia menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan saya. Oh tuhan, sungguh besar dosaku, saya telah menyia-nyiakan istriku yang setia menemaniku selama 30 tahun, selama ini saya memperlakukan dia dengan tidak adil, saya juga tidak pernah memberikan dia kebahagiaan, sungguh tidak pantas saya menjadi seorang  manusia. Kemudian saya memeluk di dengan erat… saya berlutut di hadapan dia.

Sumber : Gema Suci
Just share :)

Rabu, 18 Desember 2013

sepucuk surat dari orangtua

video ini adalah bentuk ungkapan isi hati dari orang tua kita. semakin bertambahnya usia orang tua, kita juga semakin dewasa. kita pasti lebih sibuk dan jarang ada waktu luang untuk orang tua kita. orang tua kita yang sudah tua renta pasti merasa kesepian. jadi semoga dengan melihat video surat dari orang tua ini kita bisa lebih menyayangi dan lebih meluangkan waktu untuk orang tua kita. silahkan menonton :)
Just share.. :)

Selasa, 17 Desember 2013

Buku telepon ( Yellow pages )

      Suatu ketika di ruang kelas sekolah menengah, terlihat suatu percakapan yang menarik. Seorang guru, dengan buku di tangan, tampak menanyakan sesuatu kepada murid-muridnya di depan kelas. Sementara itu, dari mulutnya keluar sebuah pertanyaan.
“Anak-anak, kita sudah hampir memasuki saat2 terakhir bersekolah di sini. Setelah 3 tahun, pencapaian terbesar apa yang membuatmu bahagia? Adakah hal2 besar yang kalian peroleh selama ini?”
        Murid2 tampak saling pandang. Terdengar suara dari guru, “Ya ceritakanlah satu hal terbesar yang terjadi dalam hidupmu…”.
Lagi2 semua murid saling pandang. Hingga kemudian tangan guru menunjuk pada seorang murid. “Nah kamu yang berkacamata, adakah hal besar yang kamu temui? Berbagilah dengan teman2mu”.
        Sesaat terlontar sebuah cerita dari sang murid, “seminggu yang lalu, adalah masa yang sangat besar bagiku. Orangtuaku baru saja membeli sebuah motor, persis seperti yang aku impikan selama ini”. Matanya berbinar, tangannya tampak sedang menunggang sesuatu. “mootr sport dengan lampu yang berkilat, pasti tak ada yang bisa mengalahkan kehebatan motorku.”
        Sang guru tersenyum. Tangannya menunjuk beberapa murid lainnya. Maka, terdegnarlah beragam cerita dari murid2 yang hadir. Ada anak yang baru saja mendapat sebuah mobil. Ada pula yang baru melewatkan liburan di luar negeri. Sementara, ada murid yang bercerita tentang keberhasilannya mendaki gunung. Semuanya bercerita tentang hal2 besar yang mereka temui dan mereka dapatkan. Hampir semua telah bicara, hingga terdengar suara dari arah belakang.
“Pak guru .. pak, aku belum cerita”. Rupanya ada seorang anak di pojok kana yang luput dipanggil. Matanya berbinar sama seperti saat anak2 lainnya bercerita tentang kisah besar yang merek punya. “Maaf, silahkan, ayo berbagi dengan kami semua”, ujar Pak guru kepada murid berambut lurus itu. “Apa hal terbesar yang kamu dapatkan?”
“keberhasilan terbesar buatku, dan juga buat keluargaku adalah …. Saat nama keluarga kami tercantum dalam buku telepon yang baru terbit 3 hari yang lalu”. Sesaat senyap. Tak sedetik, terdengar tawa2 kecil yang memenuhi ruangan kelas itu. Ada yang tersenyum simpul, terkikik2, bahkan tertawa terbahak-bahak mendengar cerita itu.
        Dari sudut kelas, ada yang berkomentar, “Ha? Aku sudah sejak lahir menenmukan nama keluargaku di buku telepon. Buku telepon? Betapa menyedihkan …. Hahaha”. Dari sudut lain, ada pula yang menimpali, “Apa tak ada hal besar lain yang kamu dapat selain hal yang lumrah semacam itu?” lagi2 terdengar derai2 tawa kecil yang masih memenuhi ruangan.
        Pak guru berusaha menengahi situasi ini, sambil mengangkat tangan. “tenang sebentar anak2, kita belum mendengar cerita selanjutnya. Silahkan teruskan, Nak …”. Anak berambut lurus itu pun kembali angkat bicara. “Ya. Memang itulah kebahagiaan terbesar yang pernah aku dapatkan. Dulu, ayahku bukanlah orang baik2. karenanya, kami sering berpindah2 rumah. Kami tak pernah menetap, karena selalu merasa dikejar polisi”. Matanya tampak menerawang. Ada bias pantul cermin dari kedua bola mata anak itu, dan ia melanjutkan. “tapi kini ayah telah berubah. Dia telah mau menjadi ayah yang baik buat keluargaku. Sayang, semua itu tidak butuh waktu dan usaha. Tak pernah ada bank dan yayasan yang mau memberikan pinjaman modal buat bekerja. Hingga setahun lalu, ada seseorang yang relaa meminjamkan modal buat ayahku. Dan kini, ayah berhasil. Bukan hanya itu, ayah juga membeli sebuah rumah kecil buat kami. Dan kami tidak perlu berpindah-pindah lagi”.
“Tahukah kalian, apa artinya kalau nama keluargamu ada di buku telepon? Itu artinya, aku tidak perlu lagi merasa takut setiap malam dibangunkan ayah untuk terus berlari. Itu artinya, aku tak perlu lagi kehilangan teman2 yang aku sayangi. Itu juga berarti, aku tak harus tidur di dalam mobil setiap malam yang dingin. Dan itu artinya, aku, dan juga keluargaku, adalah sama derajatnya dengan keluarga2 lainnya”.
        Matanya kembali menerawang. Ada bulir bening yang mengalir. “itu artinya, akan ada harapan2 baru yang aku dapatkan nanti.” Kelas terdiam. Pak guru tersenyum haru. Murid2 tertunduk. Mereka baru saja menyaksikan sebuah fragmen tentang kehidupan. Mereka juga baru saja mendapatkan hikmah tentang pencapaian terbesar, dan kebahagiaan. Mereka juga belajar satu hal: “bersyukurlah dan berbesarhatilah setiap kali mendengar keberhasilan orang lain. Sekecil apapun. Sebesar apapun.

Dari berbagai sumber
just share :)