Minggu, 15 Desember 2013

Aku Sudah Dewasa (cerita inspiratif)



Semua orang pasti akan merasa bangga bila mempunyai seorang ayah seperti ayahku. Ayah adalah seorang pengacara terkenal, pengetahuannya tentang hukum sangat luas, baik dari dalam maupun luar negeri. Hampir semua klien ayah adalah perusahaan besar, sehingga penghasilannya pun cukup luar biasa. Namun hal tersebut tidak membuat ayah menjadi angkuh. Beliau sering membantu lembaga sosial yang lemah, melayani mereka secara gratis dan tidak hanya itu saja, setiap minggu beliau pergi ke lembaga permasyarakatan untuk memberi kursus pelajaran kepada para napi. Setiap akan keluar pengumuman hasil ujian para napi, beliau selalu menunggu dengan gelisah, apakah nama siswanya tercantum pada papan pengumuman.
        Aku adalah anak tunggal, maka sudah pasti seluruh kasih sayang ditumpahkan padaku. Beliau selalu memberi yang terbaik untukku, namun bukan berarti aku dimanjakannya. Rumah kami sangat luas dan bangunannya ditata dengan artistik. Di ruang kerja ayah, semua perabotan berwarna gelap. Rak buku, meja tulis, bahkan dinding pun dilapisi dengan kayu jati berwarna gelap, perpaduan warna yang sangat klasik. Di atas meja tulis terletak sebuah lampu meja antik dan bernilai seni. Ayah sangat menyenangi kesenian. Ayah juga gemar membaca buku. Tak heran koleksi bukunya sangat banyak. Di ruang kerjanya, selain terdapat buku-buku tentang hukum, juga terdapat buku karya seni yang terkenal, sejak kecil ayah sudah menanamkan kebiasaan membaca kepadaku.
        Ayah juga sering menjelaskan kepadaku tentang logika-logika dalam penyelesaian suatu perkara. Pemikirannya begitu logis dan jernih, sehingga sejak kecil aku sudah mampu mengungkapkan suatu pandangan secara jelas. Otomatis prestasiku di sekolah pun amat menonjol dan disayangi guru.
        Kalau ayah sedang bertugas ke luar negeri, beliau selalu mengajakku. Sejak kecil aku telah banyak mengunjungi museum-museum yang terkenal di dunia. Aku bisa merasakan keinginan ayah untuk menjadikanku seorang yang berpendidikan tinggi.
        Sekarang aku sudah kuliah. Waktu berkumpul dengan ayah dan ibu pun hanya sebulan sekali. Suatu kejadian belakangan ini telah membuatku menjadi lebih dewasa dan mantap menjalani hidup. Pada suatu hari, kami sekeluarga pergi berlibur ke villa di tepi pantai. Pada sore hari, sebelum matahari terbenam, ayah mengajakku berjalan-jalan ke tepi pantai, sambil bercerita. Tanpa disadari, kami sudah tiba di puncak sebuah bukit yang di bawahnya adalah tebing curam penuh dengan batu-batu. Ayah duduk di atas sebuah batu. Tiba-tiba beliau teringat sebuah peristiwa yang baru-baru ini terjadi, seorang napi dihukum mati. Ayah sangat menentang hukuman mati, karena menurutnya seorang napi yang dihukum mati itu seharusnya diberi pengampunan, walaupun sebelumnya ia pernah melakukan kejahatan, namun akhirnya sudah bertobat dan berubah menjadi baik.
        Akan tetapi, aku tidak sependapat dengan ayah. Mengungkit masalah masyarakat, mengingat tindak kejahatan yang mereka lakukan telah membuat banyak orang menjadi sengsara. Ayah hanya memandangku dan tidak berdebat. Ia hanya mengatakan, dalam masyarakat memang membutuhkan keadilan, tetapi kita juga harus bisa memaafkan mereka yang sudah bertobat. “suatu hari kita juga mungkin mengharapkan orang lain untuk memaafkan kita.” Aku jadi teringat dulu ayah pernah menjabat sebagai jaksa, akupun bertanya apakah beliau pernah menjatuhkan hukuman mati pada seseorang.
        Dengan pandangan yang menerawang jauh, ayah menceritakan satu kisah nyata kepadaku:
        “aku pernah menjatuhkan hukuman mati kepada seorang pemuda lugu yang tidak berpendidikan. Dia bekerja pada sebuah toko dimana istri majikannya sangat kejam. Kartu identitas pemuda ini ditahan oleh istri majikannya dan ia diperlakukan seperti budak. Lama-kelamaan timbul hati benci pada istri majikannya hingga suatu saat, amarahnya memuncak dan akhirnya membunuh istri majikannya.
        Saat itu aku menjabat sebagai kepala jaksa. Aku pun menjatuhkan hukuman mati padanya. Namun ternyata sang pemuda sudah bertobat dan berubah baik sebelum waktunya menjalankan hukuman.
        Sebenarnya ia juga sama seperti orang biasa, yang ingin mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Sayang, nasib yang tidak mujur, ia menemukan majikan yang tidak baik. Sesungguhnya ia adalah orang baik, hanyalah aku yang terlalu cepat memvonis dia. Sejak itupun aku mulai mengajukan permohonan ampun kepada dia agar bisa terbebas dari hukuman mati. Namun sayangnya tidak berhasil.
        Disaat yang sama, istrinya telah melahirkan seorang anak laki-laki yang lucu dan sehat. Ia memperlihatkan foto anaknya yang baru lahir itu kepadaku saat mengunjungi dia di penjara. Begitu ingat bahwa anak itu akan menjadi yatim, hatiku seperti disayat, aku sungguh menyesal! Dan akhirnya aku menerima sepucuk surat darinya sebelum dia menghadapi eksekusi.
        Dari kantongnya, ayah mengeluarkan sepotong kertas surat yang telah menguning. Tanpa mengucapkan sepatah kata ayah memberikannya kepadaku, isi suratnya:

Bapak jaksa yang terhormat,

Terima kasih anda telah banyak berjuang demi aku, tetapi aku tetap harus pergi. Ada sebuah permintaan yang mungkin tidak pantas bagi saya utarakan. Saya hanya berharap anda dapat menjaga anak saya, agar dia dapat keluar dari kemiskinan dan kehinaan. Mohon anda membantu dia supaya menjadi orang yang berguna dan berpendidikan tinggi. Jangan biarkan dia melewati hidup yang penuh kebingungan dan tanpa arah seperti aku.

Hormat saya,
       
Aku menjadi penasaran dan ingin tahu tentang anak tersebut, sehingga aku bertanya kepada ayah, “lalu bagaimana ayah merawatnya?” “aku telah mengadopsi dia sebagai anak.” Kata ayah dengan pelan. Seketika itu, dunia seakan berubah menjadi gelap, anginpun bertiup dengan kencang. Oh, tidak! Ternyata yang berada di depanku dan yang selama ini menyayangiku bukanlah ayah kandungku, melainkan pembunuh ayah kandungku. Begitu kagetnya aku hingga tersentak dari tempat duduk. Perasaanku sungguh kacau dan rasanya sulit untuk menerima kenyataan, tidak tahu harus bagaimana. Ayah hanya menundukkan kepala dan tidak berani menatapku. Seorang anak  pantas membalas dendam kepada orang yang telah membunuh ayah kandungnya. Dan kalau aku mau, pada saat itu juga aku bisa saja mendorongnya jatuh ke dalam tebing curam sehingga badannya hancur lebur. Namun aku tidak melakukan apa-apa. Ayah kandungku saja mampu memaafkan orang yang telah menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Apalagi orang yang duduk di depanku adalah orang yang telah membesarkanku dengan kasih sayang selama puluhan tahun. Memang dia telah salah bertindak, tetapi telah ditebus dengan perasaan menyesal yang dialaminya sepanjang hidup. Bagaimana mungkin aku tega berbuat hal yang kejam. Ayah kandungku yang telah bertobat tetap dijatuhkan hukuman mati sudah merupakan suatu kesalahan yang kerap kali terjadi di masyarakat. Aku tidak berhak untuk mengulangi kesalahan lagi. Akupun yakin kalau ayah kandungku tidak berharap aku melakukan hal demikian.
        Aku mendekati ayah dan berkata pelan, “ayah, hari sudah gelap, mari kita pulang. Ibu pasti sudah menunggu kita di rumah.” Ayah bangkit dari duduknya. saya melihat  air mata yang berlinang di ujung matanya. “anakku, terima kasih, aku tidak menyangka engkau begitu cepat memaafkanku.” Pandanganku terasa kabur karena air mata, namun kata-kataku sangat jelas “ayah, biar bagaimanapun aku tetap anakmu, terima kasih telah membesarkan aku.”
        Hari sudah mulai gelap, angin laut sore hari bertiup dengan kencang, wajah ayah tampak tua dan lesu. Aku memapahnya meninggalkan pantai, menuju villa. Sepanjang pantai yang sunyi senyap itu hanya ada kami berdua.
        Aku bangga mempunyai ayah kandung yang berhati lapang bisa memaafkan orang yang telah menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Aku juga merasa bangga kepada ayah yang membesarkanku, yang telah menyesali perbuatannya. Demi menebus penyesalannya, beliau telah menjalankan kewajiban untuk membesarkanku dengan kasih sayang. Bahkan beliau rela menerima aku yang mungkin kelak bisa mengakhiri nyawanya.
        Sejak peristiwa itu, aku merasa diriku lebih dewasa dan semakin kuat. Hanya orang dewasa yang mampu memaafkan kesalahan orang lain, dan hanya orang dewasa yang mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Aku benar-benar mendapatkan kedamaian dan ketentraman dalam hati. Dan aku pun berjanji akan selalu memperlakukan kedua orang tuaku dengan sebaik-baiknya.
        Memaafkankan orang bersalah terhadap kita memanglah sulit. Tidak ada orang yang tidak pernah melakukan kesalahan. Kebahagiaan terbesar manusia adalah bisa mengalahkan kemarahan hati sendiri, bila setiap orang bisa memiliki  sifat lapang dada dan tidak memiliki sifat egois maka keadaan akan menjadi aman dan sentosa. Setiap kejadian pasti membawa hikmah yang baik sebagai pelajaran hidup manusia. Sebelum mengambil keputusan hendaknya pikirkan terlebih dahulu baik buruknya yang akan tejadi.


sumber : buku PPJ
Just Share :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar