Semua orang pasti akan merasa bangga bila
mempunyai seorang ayah seperti ayahku. Ayah adalah seorang pengacara terkenal,
pengetahuannya tentang hukum sangat luas, baik dari dalam maupun luar negeri.
Hampir semua klien ayah adalah perusahaan besar, sehingga penghasilannya pun
cukup luar biasa. Namun hal tersebut tidak membuat ayah menjadi angkuh. Beliau
sering membantu lembaga sosial yang lemah, melayani mereka secara gratis dan
tidak hanya itu saja, setiap minggu beliau pergi ke lembaga permasyarakatan
untuk memberi kursus pelajaran kepada para napi. Setiap akan keluar pengumuman
hasil ujian para napi, beliau selalu menunggu dengan gelisah, apakah nama
siswanya tercantum pada papan pengumuman.
Aku adalah anak tunggal, maka
sudah pasti seluruh kasih sayang ditumpahkan padaku. Beliau selalu memberi yang
terbaik untukku, namun bukan berarti aku dimanjakannya. Rumah kami sangat luas
dan bangunannya ditata dengan artistik. Di ruang kerja ayah, semua perabotan
berwarna gelap. Rak buku, meja tulis, bahkan dinding pun dilapisi dengan kayu
jati berwarna gelap, perpaduan warna yang sangat klasik. Di atas meja tulis
terletak sebuah lampu meja antik dan bernilai seni. Ayah sangat menyenangi
kesenian. Ayah juga gemar membaca buku. Tak heran koleksi bukunya sangat
banyak. Di ruang kerjanya, selain terdapat buku-buku tentang hukum, juga
terdapat buku karya seni yang terkenal, sejak kecil ayah sudah menanamkan
kebiasaan membaca kepadaku.
Ayah juga sering menjelaskan
kepadaku tentang logika-logika dalam penyelesaian suatu perkara. Pemikirannya
begitu logis dan jernih, sehingga sejak kecil aku sudah mampu mengungkapkan
suatu pandangan secara jelas. Otomatis prestasiku di sekolah pun amat menonjol
dan disayangi guru.
Kalau ayah sedang bertugas ke
luar negeri, beliau selalu mengajakku. Sejak kecil aku telah banyak mengunjungi
museum-museum yang terkenal di dunia. Aku bisa merasakan keinginan ayah untuk
menjadikanku seorang yang berpendidikan tinggi.
Sekarang aku sudah kuliah.
Waktu berkumpul dengan ayah dan ibu pun hanya sebulan sekali. Suatu kejadian
belakangan ini telah membuatku menjadi lebih dewasa dan mantap menjalani hidup.
Pada suatu hari, kami sekeluarga pergi berlibur ke villa di tepi pantai. Pada sore
hari, sebelum matahari terbenam, ayah mengajakku berjalan-jalan ke tepi pantai,
sambil bercerita. Tanpa disadari, kami sudah tiba di puncak sebuah bukit yang
di bawahnya adalah tebing curam penuh dengan batu-batu. Ayah duduk di atas
sebuah batu. Tiba-tiba beliau teringat sebuah peristiwa yang baru-baru ini
terjadi, seorang napi dihukum mati. Ayah sangat menentang hukuman mati, karena
menurutnya seorang napi yang dihukum mati itu seharusnya diberi pengampunan,
walaupun sebelumnya ia pernah melakukan kejahatan, namun akhirnya sudah
bertobat dan berubah menjadi baik.
Akan tetapi, aku tidak
sependapat dengan ayah. Mengungkit masalah masyarakat, mengingat tindak
kejahatan yang mereka lakukan telah membuat banyak orang menjadi sengsara. Ayah
hanya memandangku dan tidak berdebat. Ia hanya mengatakan, dalam masyarakat
memang membutuhkan keadilan, tetapi kita juga harus bisa memaafkan mereka yang
sudah bertobat. “suatu hari kita juga mungkin mengharapkan orang lain untuk
memaafkan kita.” Aku jadi teringat dulu ayah pernah menjabat sebagai jaksa,
akupun bertanya apakah beliau pernah menjatuhkan hukuman mati pada seseorang.
Dengan pandangan yang
menerawang jauh, ayah menceritakan satu kisah nyata kepadaku:
“aku pernah menjatuhkan
hukuman mati kepada seorang pemuda lugu yang tidak berpendidikan. Dia bekerja
pada sebuah toko dimana istri majikannya sangat kejam. Kartu identitas pemuda
ini ditahan oleh istri majikannya dan ia diperlakukan seperti budak.
Lama-kelamaan timbul hati benci pada istri majikannya hingga suatu saat,
amarahnya memuncak dan akhirnya membunuh istri majikannya.
Saat itu aku menjabat sebagai
kepala jaksa. Aku pun menjatuhkan hukuman mati padanya. Namun ternyata sang
pemuda sudah bertobat dan berubah baik sebelum waktunya menjalankan hukuman.
Sebenarnya ia juga sama
seperti orang biasa, yang ingin mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya.
Sayang, nasib yang tidak mujur, ia menemukan majikan yang tidak baik.
Sesungguhnya ia adalah orang baik, hanyalah aku yang terlalu cepat memvonis
dia. Sejak itupun aku mulai mengajukan permohonan ampun kepada dia agar bisa
terbebas dari hukuman mati. Namun sayangnya tidak berhasil.
Disaat yang sama, istrinya
telah melahirkan seorang anak laki-laki yang lucu dan sehat. Ia memperlihatkan
foto anaknya yang baru lahir itu kepadaku saat mengunjungi dia di penjara.
Begitu ingat bahwa anak itu akan menjadi yatim, hatiku seperti disayat, aku
sungguh menyesal! Dan akhirnya aku menerima sepucuk surat darinya sebelum dia
menghadapi eksekusi.
Dari kantongnya, ayah
mengeluarkan sepotong kertas surat yang telah menguning. Tanpa mengucapkan
sepatah kata ayah memberikannya kepadaku, isi suratnya:
Bapak jaksa yang terhormat,
Terima kasih anda telah banyak berjuang demi aku, tetapi aku tetap harus
pergi. Ada sebuah permintaan yang mungkin tidak pantas bagi saya utarakan. Saya
hanya berharap anda dapat menjaga anak saya, agar dia dapat keluar dari
kemiskinan dan kehinaan. Mohon anda membantu dia supaya menjadi orang yang
berguna dan berpendidikan tinggi. Jangan biarkan dia melewati hidup yang penuh
kebingungan dan tanpa arah seperti aku.
Hormat saya,
Aku menjadi penasaran dan ingin tahu tentang anak tersebut, sehingga aku
bertanya kepada ayah, “lalu bagaimana ayah merawatnya?” “aku telah mengadopsi
dia sebagai anak.” Kata ayah dengan pelan. Seketika itu, dunia seakan berubah
menjadi gelap, anginpun bertiup dengan kencang. Oh, tidak! Ternyata yang berada
di depanku dan yang selama ini menyayangiku bukanlah ayah kandungku, melainkan
pembunuh ayah kandungku. Begitu kagetnya aku hingga tersentak dari tempat
duduk. Perasaanku sungguh kacau dan rasanya sulit untuk menerima kenyataan,
tidak tahu harus bagaimana. Ayah hanya menundukkan kepala dan tidak berani
menatapku. Seorang anak pantas membalas
dendam kepada orang yang telah membunuh ayah kandungnya. Dan kalau aku mau,
pada saat itu juga aku bisa saja mendorongnya jatuh ke dalam tebing curam
sehingga badannya hancur lebur. Namun aku tidak melakukan apa-apa. Ayah
kandungku saja mampu memaafkan orang yang telah menjatuhkan hukuman mati
kepadanya. Apalagi orang yang duduk di depanku adalah orang yang telah
membesarkanku dengan kasih sayang selama puluhan tahun. Memang dia telah salah
bertindak, tetapi telah ditebus dengan perasaan menyesal yang dialaminya
sepanjang hidup. Bagaimana mungkin aku tega berbuat hal yang kejam. Ayah
kandungku yang telah bertobat tetap dijatuhkan hukuman mati sudah merupakan
suatu kesalahan yang kerap kali terjadi di masyarakat. Aku tidak berhak untuk
mengulangi kesalahan lagi. Akupun yakin kalau ayah kandungku tidak berharap aku
melakukan hal demikian.
Aku mendekati ayah dan berkata
pelan, “ayah, hari sudah gelap, mari kita pulang. Ibu pasti sudah menunggu kita
di rumah.” Ayah bangkit dari duduknya. saya melihat air mata yang berlinang di ujung matanya.
“anakku, terima kasih, aku tidak menyangka engkau begitu cepat memaafkanku.”
Pandanganku terasa kabur karena air mata, namun kata-kataku sangat jelas “ayah,
biar bagaimanapun aku tetap anakmu, terima kasih telah membesarkan aku.”
Hari sudah mulai gelap, angin
laut sore hari bertiup dengan kencang, wajah ayah tampak tua dan lesu. Aku
memapahnya meninggalkan pantai, menuju villa. Sepanjang pantai yang sunyi
senyap itu hanya ada kami berdua.
Aku bangga mempunyai ayah
kandung yang berhati lapang bisa memaafkan orang yang telah menjatuhkan hukuman
mati kepadanya. Aku juga merasa bangga kepada ayah yang membesarkanku, yang
telah menyesali perbuatannya. Demi menebus penyesalannya, beliau telah
menjalankan kewajiban untuk membesarkanku dengan kasih sayang. Bahkan beliau
rela menerima aku yang mungkin kelak bisa mengakhiri nyawanya.
Sejak peristiwa itu, aku
merasa diriku lebih dewasa dan semakin kuat. Hanya orang dewasa yang mampu
memaafkan kesalahan orang lain, dan hanya orang dewasa yang mampu membedakan
mana yang benar dan mana yang salah. Aku benar-benar mendapatkan kedamaian dan
ketentraman dalam hati. Dan aku pun berjanji akan selalu memperlakukan kedua
orang tuaku dengan sebaik-baiknya.
Memaafkankan orang bersalah
terhadap kita memanglah sulit. Tidak ada orang yang tidak pernah melakukan
kesalahan. Kebahagiaan terbesar manusia adalah bisa mengalahkan kemarahan hati
sendiri, bila setiap orang bisa memiliki
sifat lapang dada dan tidak memiliki sifat egois maka keadaan akan
menjadi aman dan sentosa. Setiap kejadian pasti membawa hikmah yang baik
sebagai pelajaran hidup manusia. Sebelum mengambil keputusan hendaknya pikirkan
terlebih dahulu baik buruknya yang akan tejadi.
sumber : buku PPJ
Just Share :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar