Alkisah, ada sepasang kekasih yang hidup saling
mencintai. Sang pria berasal dari keluarga kaya raya dan merupakan orang yang
terpandang di kota
tersebut. Sedangkan sang wanita adalah seorang yatim piatu, hidup serba
kekurangan tetapi cantik, lemah lembut, dan baik hati. Kelebihan inilah yang
membuat sang pria jatuh hati.
Sang wanita hamil di luar
nikah. Sang pria lalu mengajaknya menikah, dengan membawa sang wanita ke
rumahnya. Seperti yang sudah mereka duga, orang tua sang pria tidak menyukai
wanita tersebut. Sebagai orang yang terpandang di kota tersebut, latar belakang wanita tersebut
akan merusak reputasi keluarga. Sebaliknya, mereka bahkan telah mencarikan
jodoh yang sepadan untuk anaknya. Sang pria berusaha menyakinkan orang tuanya,
bahwa ia sudah menetapkan keputusannya, apapun resikonya bagi dia.
Sang wanita merasa tak berdaya, tetapi sang pria
menyakinkan wanita tersebut bahwa tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Sang
pria terus berargumen dengan orang tuanya bahkan membantah perkataan
orangtuanya, sesuatu yang belum pernah dilakukannya selama hidupnya (di zaman
dulu, umumnya seorang anak sangat patuh pada orang tuanya).
Sebulan telah berlalu, sang pria gagal untuk
membujuk orangtuanya agar menerima calon istrinya. Sang orang tua juga menjadi
stress karena gagal membujuk anak satu-satunya agar berpisah dengan wanita
tersebut yang menurut mereka akan sangat merugikan masa depannya.
Sang pria akhirnya menetapkan pilihan untuk kawin
lari. Ia memutuskan untuk meninggalkan semuanya demi sang kekasih. Waktu
keberangkatan pun ditetapkan, tetapi rupanya rencana ini diketahui oleh orang
tua sang pria. Maka ketika saatnya tiba, sang orangtua mengunci anaknya di
dalam kamar dan dijaga ketat oleh para bawahan di rumahnya yang besar.
Sebagai gantinya, kedua orang tua datang ke tempat
yang telah ditentukan sepasang kekasih tersebut untuk melarikan diri. Sang
wanita sangat terkejut dengan kedatangan ayah dan ibu sang pria. Mereka
kemudian memohon pengertian dari sang wanita, agar meninggalkan anak mereka
satu-satunya. Menurut mereka, dengan perbedaan status sosial yang sangat besar,
perkawinan mereka hanya akan menjadi gunjingan seluruh penduduk kota , reputasi anaknya
akan tercemar dan orang-orang tidak akan menghormatinya lagi. Akibatnya, bisnis
yang akan diwariskan kepada anak mereka akan bangkrut secara perlahan-lahan.
Mereka bahkan memberikan uang dalam jumlah banyak,
dengan permohonan agar wanita tersebut meninggalkan kota ini, tidak bertemu dengan anaknya lagi
dan menggugurkan kandungannya. Uang tersebut dapat digunakan untuk membiayai
hidupnya di tempat lain.
Sang wanita menangis tersedu-sedu, dalam hati
kecilnya ia sadar bahwa perbedaan status sosial yang sangat jauh, akan
menimbulkan banyak kesulitan bagi kekasihnya. Akhirnya, ia setuju untuk
meninggalkan kota
ini, tetapi menolak untuk menerima uang tersebut. Ia mencintai sang pria, bukan
uangnya. Walaupun ia sepenuhnya sadar, jalan hidupnya ke depan akan sangat
sulit?.
Ibu sang pria kembali memohon kepada wanita
tersebut untuk meninggalkan sepucuk surat
kepada mereka, yang menyatakan bahwa ia memilih berpisah dengan sang pria. Ibu
sang pria kuatir anaknya akan terus mencari kekasihnya, dan tidak mau
meneruskan usaha orang tuanya. “Walaupun ia kelak bukan suamimu, bukankah Anda
ingin melihatnya sebagai seseorang yang berhasil? Ini adalah untuk kebaikan
kalian berdua”, kata sang ibu.
Dengan berat hati, sang wanita menulis surat . Ia menjelaskan
bahwa ia sudah memutuskan untuk pergi meninggalkan sang pria. Ia sadar bahwa
keberadaannya hanya akan merugikan sang pria. Ia minta maaf karena telah
melanggar janji setia mereka berdua, bahwa mereka akan selalu bersama dalam
menghadapi penolakan-penolakan akibat perbedaan status sosial mereka. Ia tidak
kuat lagi menahan penderitaan ini, dan memutuskan untuk berpisah.
Tetesan air mata sang wanita tampak membasahi surat tersebut. Sang
wanita yang malang
tersebut tampak tidak punya pilihan lain. Ia terjebak antara moral dan
cintanya. Sang wanita segera meninggalkan kota
itu, sendirian. Ia menuju sebuah desa yang lebih terpencil. Disana, ia bertekad
untuk melahirkan dan membesarkan anaknya.
Detik .. Menit …. Jam …. Hari …. Minggu ………Tahun ……
Tak terasa Tiga tahun telah berlalu. Ternyata wanita tersebut telah menjadi
seorang ibu. Anaknya seorang laki-laki. Sang ibu bekerja keras siang dan malam,
untuk membiayai kehidupan mereka. Di pagi dan siang hari, ia bekerja di sebuah
industri rumah tangga, malamnya, ia menyuci pakaian2 tetangga dan menyulam
sesuai dengan pesanan pelanggan. Kebanyakan ia melakukan semua pekerjaan ini
sambil menggendong anak di punggungnya. Walaupun ia cukup berpendidikan, ia
menyadari bahwa pekerjaan lain tidak memungkinkan, karena ia harus berada di
sisi anaknya setiap saat.
Tetapi sang ibu tidak pernah mengeluh dengan
pekerjaannya. Di usia tiga tahun, suatu saat, sang anak tiba-tiba sakit keras.
Demamnya sangat tinggi. Ia segera dibawa ke rumah sakit setempat. Anak tersebut
harus menginap di rumah sakit selama beberapa hari. Biaya pengobatan telah
menguras habis seluruh tabungan dari hasil kerja kerasnya selama ini, dan
itupun belum cukup. Ibu tersebut akhirnya juga meminjam ke sana-sini, kepada
siapapun yang bermurah hati untuk memberikan pinjaman.
Saat diperbolehkan pulang, sang dokter menyarankan
untuk membuat sup ramuan, untuk mempercepat kesembuhan putranya. Ramuan
tersebut terdiri dari obat-obatan herbal dan daging sapi untuk dikukus bersama.
Tetapi sang ibu hanya mampu membeli obat-obat herbal tersebut, ia tidak punya
uang sepeserpun lagi untuk membeli daging. Untuk meminjam lagi, rasanya tak
mungkin, karena ia telah berutang kepada semua orang yang ia kenal, dan belum
terbayar.
Ketika di rumah, sang ibu menangis. Ia tidak tahu
harus berbuat apa, untuk mendapatkan daging. Toko daging di desa tersebut telah
menolak permintaannya, untuk bayar di akhir bulan saat gajian. Diantara
tangisannya, ia tiba-tiba mendapatkan ide. Ia mencari alkohol yang ada di
rumahnya, sebilah pisau dapur, dan sepotong kain. Setelah pisau dapur
dibersihkan dengan alkohol, sang ibu nekad mengambil sekerat daging dari
pahanya. Agar tidak membangunkan anaknya yang sedang tidur, ia mengikat
mulutnya dengan sepotong kain. Darah berhamburan. Sang ibu tengah berjuang
mengambil dagingnya sendiri, sambil berusaha tidak mengeluarkan suara kesakitan
yang teramat sangat?..
Hujan lebatpun turun. Lebatnya hujan menyebabkan
rintihan kesakitan sang ibu tidak terdengar oleh para tetangga, terutama oleh
anaknya sendiri. Tampaknya langit juga tersentuh dengan pengorbanan yang sedang
dilakukan oleh sang ibu.
Enam tahun telah berlalu, anaknya tumbuh menjadi
seorang anak yang tampan, cerdas, dan berbudi pekerti. Ia juga sangat sayang
ibunya. Di hari minggu, mereka sering pergi ke taman di desa tersebut, bermain
bersama, dan bersama-sama menyanyikan lagu “Shi Sang Chi You Mama Hau”
(terjemahannya “Di Dunia ini, hanya ibu seorang yang baik”).
Sang anak juga sudah sekolah. Sang ibu sekarang
bekerja sebagai penjaga toko, karena ia sudah bisa meninggalkan anaknya di
siang hari. Hari-hari mereka lewatkan dengan kebersamaan, penuh kebahagiaan.
Sang anak terkadang memaksa ibunya, agar ia bisa membantu ibunya menyuci di
malam hari. Ia tahu ibunya masih menyuci di malam hari, karena perlu tambahan
biaya untuk sekolahnya. Ia memang seorang anak yang cerdas. Ia juga tahu, bulan
depan adalah hari ulang tahun ibunya. Ia berniat membelikan sebuah jam tangan,
yang sangat didambakan ibunya selama ini. Ibunya pernah mencobanya di sebuah
toko, tetapi segera menolak setelah pemilik toko menyebutkan harganya. Jam
tangan itu sederhana, tidak terlalu mewah, tetapi bagi mereka, itu terlalu
mahal. Masih banyak keperluan lain yang perlu dibiayai.
Sang anak segera pergi ke toko tersebut, yang tidak
jauh dari rumahnya. Ia meminta kepada kakek pemilik toko agar menyimpan jam
tangan tersebut, karena ia akan membelinya bulan depan. “Apakah kamu punya
uang?” tanya sang pemilik toko. “Tidak sekarang, nanti saya akan punya”, kata
sang anak dengan serius. Ternyata, bulan depan sang anak benar-benar muncul
untuk membeli jam tangan tersebut. Sang kakek juga terkejut, kiranya sang anak
hanya main-main. Ketika menyerahkan uangnya, sang kakek bertanya “Dari mana
kamu mendapatkan uang itu? Bukan mencuri kan ?”.
“Saya tidak mencuri, kakek. Hari ini adalah hari ulang tahun ibuku. Saya
biasanya naik becak pulang pergi ke sekolah. Selama sebulan ini, saya berjalan
kaki saat pulang dari sekolah ke rumah, uang jajan dan uang becaknya saya
simpan untuk beli jam ini. Kakiku sakit, tapi ini semua untuk ibuku. O ya,
jangan beritahu ibuku tentang hal ini. Ia akan marah” kata sang anak. Sang
pemilik toko tampak kagum pada anak tersebut.
Seperti biasanya, sang ibu pulang dari kerja di
sore hari. Sang anak segera memberikan ucapan selamat pada ibu, dan menyerahkan
jam tangan tersebut. Sang ibu terkejut bercampur haru, ia bangga dengan
anaknya. Jam tangan ini memang adalah impiannya. Tetapi sang ibu tiba-tiba
tersadar, dari mana uang untuk membeli jam tersebut. Sang anak tutup mulut,
tidak mau menjawab. “Apakah kamu mencuri, Nak?” Sang anak diam seribu bahasa,
ia tidak ingin ibu mengetahui bagaimana ia mengumpulkan uang tersebut. Setelah
ditanya berklai-kali tanpa jawaban, sang ibu menyimpulkan bahwa anaknya telah
mencuri. “Walaupun kita miskin, kita tidak boleh mencuri. Bukankah ibu sudah
mengajari kamu tentang hal ini?” kata sang ibu.
Lalu ibu mengambil rotan dan mulai memukul anaknya.
Biarpun ibu sayang pada anaknya, ia harus mendidik anaknya sejak kecil. Sang
anak menangis, sedangkan air mata sang ibu mengalir keluar. Hatinya begitu
perih, karena ia sedang memukul belahan hatinya. Tetapi ia harus melakukannya,
demi kebaikan anaknya. Suara tangisan sang anak terdengar keluar. Para tetangga menuju ke rumah tersebut heran, dan
kemudian prihatin setelah mengetahui kejadiannya. “Ia sebenarnya anak yang
baik”, kata salah satu tetangganya.
Kebetulan sekali, sang pemilik toko sedang
berkunjung ke rumah salah satu tetangganya yang merupakan familinya. Ketika ia
keluar melihat ke rumah itu, ia segera mengenal anak itu. Ketika mengetahui
persoalannya, ia segera menghampiri ibu itu untuk menjelaskan. Tetapi tiba-tiba
sang anak berlari ke arah pemilik toko, memohon agar jangan menceritakan yang
sebenarnya pada ibunya.
“Nak, ketahuilah, anak yang baik tidak boleh
berbohong, dan tidak boleh menyembunyikan sesuatu dari ibunya”. Sang anak
mengikuti nasehat kakek itu. Maka kakek itu mulai menceritakan bagaimana sang
anak tiba-tiba muncul di tokonya sebulan yang lalu, memintanya untuk menyimpan
jam tangan tersebut, dan sebulan kemudian akan membelinya. Anak itu muncul
siang tadi di tokonya, katanya hari ini adalah hari ulang tahun ibunya. Ia juga
menceritakan bagaimana sang anak berjalan kaki dari sekolahnya pulang ke rumah
dan tidak jajan di sekolah selama sebulan ini, untuk mengumpulkan uang membeli
jam tangan kesukaan ibunya.
Tampak sang kakek meneteskan air mata saat selesai
menjelaskan hal tersebut, begitu pula dengan tetangganya. Sang ibu segera
memeluk anak kesayangannya, keduanya menangis dengan tersedu-sedu.”Maafkan
saya, Nak.”
“Tidak Bu, saya yang bersalah”
Sementara itu, ternyata ayah dari sang anak sudah
menikah, tetapi istrinya mandul. Mereka tidak punya anak. Sang orangtua sangat
sedih akan hal ini, karena tidak akan ada yang mewarisi usaha mereka kelak.
Ketika sang ibu dan anaknya berjalan-jalan ke kota , dalam sebuah kesempatan, mereka bertemu
dengan sang ayah dan istrinya. Sang ayah baru menyadari bahwa sebenarnya ia
sudah punya anak dari darah dagingnya sendiri. Ia mengajak mereka berkunjung ke
rumahnya, bersedia menanggung semua biaya hidup mereka, tetapi sang ibu
menolak. Kami bisa hidup dengan baik tanpa bantuanmu.
Berita ini segera diketahui oleh orang tua sang
pria. Mereka begitu ingin melihat cucunya, tetapi sang ibu tidak mau
mengizinkan. Di pertengahan tahun, penyakit sang anak kembali kambuh. Dokter
mengatakan bahwa penyakit sang anak butuh operasi dan perawatan yang konsisten.
Kalau kambuh lagi, akan membahayakan jiwanya. Keuangan sang ibu sudah agak
membaik, dibandingkan sebelumnya. Tetapi biaya medis tidaklah murah, ia tidak
sanggup membiayainya. Sang ibu kembali berpikir keras. Tetapi ia tidak
menemukan solusi yang tepat. Satu-satunya jalan keluar adalah menyerahkan
anaknya kepada sang ayah, karena sang ayahlah yang mampu membiayai
perawatannya.
Maka di hari Minggu ini, sang ibu kembali mengajak
anaknya berkeliling kota ,
bermain-main di taman kesukaan mereka. Mereka gembira sekali, menyanyikan lagu
“Shi Sang Chi You Mama Hau”, lagu kesayangan mereka. Untuk sejenak, sang ibu
melupakan semua penderitaannya, ia hanyut dalam kegembiraan bersama sang anak.
Sepulang ke rumah, ibu menjelaskan keadaannya pada sang anak. Sang anak menolak
untuk tinggal bersama ayahnya, karena ia hanya ingin dengan ibu. “Tetapi ibu
tidak mampu membiayai perawatan kamu, Nak” kata ibu. “Tidak apa-apa Bu, saya
tidak perlu dirawat. Saya sudah sehat, bila bisa bersama-sama dengan ibu. Bila
sudah besar nanti, saya akan cari banyak uang untuk biaya perawatan saya dan
untuk ibu. Nanti, ibu tidak perlu bekerja lagi, Bu”, kata sang anak. Tetapi ibu
memaksa akan berkunjung ke rumah sang ayah keesokan harinya. Penyakitnya memang
bisa kambuh setiap saat.
Disana ia diperkenalkan dengan kakek dan neneknya.
Keduanya sangat senang melihat anak imut tersebut. Ketika ibunya hendak pulang,
sang anak meronta-ronta ingin ikut pulang dengan ibunya. Walaupun diberikan
mainan kesukaan sang anak, yang tidak pernah ia peroleh saat bersama ibunya,
sang anak menolak. “Saya ingin Ibu, saya tidak mau mainan itu”, teriak sang
anak dengan nada yang polos. Dengan hati sedih dan menangis, sang ibu berkata
“Nak, kamu harus dengar nasehat ibu. Tinggallah di sini. Ayah, kakek dan nenek
akan bermain bersamamu.” “Tidak, aku tidak mau mereka. Saya hanya mau ibu, saya
sayang ibu, bukankah ibu juga sayang saya? Ibu sekarang tidak mau saya lagi”,
sang anak mulai menangis.
Bujukan demi bujukan ibunya untuk tinggal di rumah
besar tersebut tidak didengarkan anak kecil tersebut. Sang anak menangis
tersedu-sedu “Kalau ibu sayang padaku, bawalah saya pergi, Bu”. Sampai pada
akhirnya, ibunya memaksa dengan mengatakan “Benar, ibu tidak sayang kamu lagi.
Tinggallah disini”, ibunya segera lari keluar meninggalkan rumah tersebut.
Tampak anaknya meronta-ronta dengan ledakan tangis yang memilukan.
Di rumah, sang ibu kembali meratapi nasibnya.
Tangisannya begitu menyayat hati, ia telah berpisah dengan anaknya. Ia tidak
diperbolehkan menjenguk anaknya, tetapi mereka berjanji akan merawat anaknya
dengan baik. Diantara isak tangisnya, ia tidak menemukan arti hidup ini lagi.
Ia telah kehilangan satu-satunyanya alasan untuk hidup, anaknya tercinta.
Kemudian ibu yang malang itu mengambil pisau dapur untuk
memotong urat nadinya. Tetapi saat akan dilakukan, ia sadar bahwa anaknya
mungkin tidak akan diperlakukan dengan baik. Tidak, ia harus hidup untuk
mengetahui bahwa anaknya diperlakukan dengan baik. Segera, niat bunuh diri itu
dibatalkan, demi anaknya juga……….
Setahun berlalu. Sang ibu telah pindah ke tempat
lain, mendapatkan kerja yang lebih baik lagi. Sang anak telah sehat, walaupun
tetap menjalani perawatan medis secara rutin setiap bulan.
Seperti biasa, sang anak ingat akan hari ulang
tahun ibunya. Uang pun dapat ia peroleh dengan mudah, tanpa perlu bersusah
payah mengumpulkannya. Maka, pada hari tersebut, sepulang dari sekolah, ia
tidak pulang ke rumah, ia segera naik bus menuju ke desa tempat tinggal ibunya,
yang memakan waktu beberapa jam. Sang anak telah mempersiapkan setangkai bunga,
sepucuk surat
yang menyatakan ia setiap hari merindukan ibu, sebuah kartu ucapan selamat
ulang tahun, dan nilai ujian yang sangat bagus. Ia akan memberikan semuanya
untuk ibu.
Sang anak berlari riang gembira melewati gang-gang
kecil menuju rumahnya. Tetapi ketika sampai di rumah, ia mendapati rumah ini
telah kosong. Tetangga mengatakan ibunya telah pindah, dan tidak ada yang tahu
kemana ibunya pergi. Sang anak tidak tahu harus berbuat apa, ia duduk di depan
rumah tersebut, menangis “Ibu benar-benar tidak menginginkan saya lagi.”
Sementara itu, keluarga sang ayah begitu cemas,
ketika sang anak sudah terlambat pulang ke rumah selama lebih dari 3 jam. Guru
sekolah mengatakan semuanya sudah pulang. Semua tempat sudah dicari, tetapi
tidak ada kabar. Mereka panik. Sang ayah menelpon ibunya, yang juga sangat
terkejut. Polisi pun dihubungi untuk melaporkan anak hilang.
Ketika sang ibu sedang berpikir keras, tiba-tiba ia
teringat sesuatu. Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Ia terlalu sibuk sampai
melupakannya. Anaknya mungkin pulang ke rumah. Maka sang ayah dan sang ibu
segera naik mobil menuju rumah tersebut. Sayangnya, mereka hanya menemukan
kartu ulang tahun, setangkai bunga, nilai ujian yang bagus, dan sepucuk surat anaknya. Sang ibu
tidak mampu menahan tangisannya, saat membaca tulisan-tulisan imut anaknya
dalam surat
itu.
Hari mulai gelap. Mereka sibuk mencari di sekitar
desa tersebut, tanpa mendapatkan petunjuk apapun. Sang ibu semakin resah.
Kemudian sang ibu membakar dupa, berlutut di hadapan altar Dewi Kuan Im, sambil
menangis ia memohon agar bisa menemukan anaknya. Seperti mendapat petunjuk,
sang ibu tiba-tiba ingat bahwa ia dan anaknya pernah pergi ke sebuah kuil Kuan
Im di desa tersebut. Ibunya pernah berkata, bahwa bila kamu memerlukan
pertolongan, mohonlah kepada Dewi Kuan Im yang welas asih. Dewi Kuan Im pasti
akan menolongmu, jika niat kamu baik. Ibunya memprediksikan bahwa anaknya mungkin
pergi ke kuil tersebut untuk memohon agar bisa bertemu dengan dirinya.
Benar saja, ternyata sang anak berada di sana . Tetapi ia pingsan,
demamnya tinggi sekali. Sang ayah segera menggendong anaknya untuk dilarikan ke
rumah sakit. Saat menuruni tangga kuil, sang ibu terjatuh dari tangga, dan
berguling-guling jatuh ke bawah.
Sepuluh tahun sudah berlalu. Kini sang anak sudah
memasuki bangku kuliah. Ia sering beradu mulut dengan ayah, mengenai persoalan
ibunya. Sejak jatuh dari tangga, ibunya tidak pernah ditemukan. Sang anak telah
banyak menghabiskan uang untuk mencari ibunya kemana-mana, tetapi hasilnya
nihil. Siang itu, seperti biasa sehabis kuliah, sang anak berjalan bersama
dengan teman wanitanya. Mereka tampak serasi. Saat melaju dengan mobil, di persimpangan
sebuah jalan, ia melihat seorang wanita tua yang sedang mengemis. Ibu tersebut
terlihat kumuh, dan tampak memakai tongkat. Ia tidak pernah melihat wanita itu
sebelumnya. Wajahnya kumal, dan ia tampak berkomat-kamit. Di dorong rasa ingin
tahu, ia menghentikan mobilnya, dan turun bersama pacar untuk menghampiri
pengemis tua itu.
Ternyata sang pengemis tua sambil mengacungkan
kaleng kosong untuk minta sedekah, ia berucap dengan lemah “Dimanakah anakku?
Apakah kalian melihat anakku?”. Sang anak merasa mengenal wanita tua itu. Tanpa
disadari, ia segera menyanyikan lagu “Shi Sang Ci You Mama Hau” dengan suara
perlahan, tak disangka sang pengemis tua ikut menyanyikannya dengan suara
lemah. Mereka berdua menyanyi bersama. Ia segera mengenal suara ibunya yang
selalu menyanyikan lagu tersebut saat ia kecil, sang anak segera memeluk
pengemis tua itu dan berteriak dengan haru “Ibu? Ini saya ibu”.
Sang pengemis tua itu terkejut, ia meraba-raba muka
sang anak, lalu bertanya, “Apakah kamu ??..(nama anak itu)?” “Benar bu, saya
adalah anak ibu?”. Keduanya pun berpelukan dengan erat, air mata keduanya
berbaur membasahi bumi. Karena jatuh dari tangga, sang ibu yang terbentur
kepalanya menjadi hilang ingatan, tetapi ia setiap hari selama sepuluh tahun
terus mencari anaknya, tanpa peduli dengan keadaaan dirinya. Sebagian orang
menganggapnya sebagai orang gila.
=========================
Perenungan untuk kita renungkan bersama-sama :
Dalam kondisi kritis, Ibu kita akan melakukan apa
saja demi kita. Ibu bahkan rela mengorbankan nyawanya.. Simaklah penggalan doa
keputusasaan berikut ini, di saat Ibu masih muda, ataupun disaat Ibu sudah tua
:
1. Anakku masih kecil, masa depannya masih panjang.
Oh Tuhan, ambillah aku sebagai gantinya.
2. Aku sudah tua, Oh Tuhan, ambillah aku sebagai
gantinya.
Diantara orang-orang disekeliling Anda, yang Anda
kenal, Saudara/I kandung Anda, diantara lebih dari 6 Milyar manusia, siapakah
yang rela mengorbankan nyawanya untuk Anda, kapan pun, dimana pun, dengan cara
apapun ………..
Tidak diragukan lagi “Ibu kita adalah Orang Yang
Paling Mulia di dunia ini”. Ingin bergabung dalam sebuah MISI MULIA ?
Sumber : SL-Books
Just share :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar