Jumat, 27 Desember 2013

belajar mengasihi dari malaikat kecil


          Istriku berkata kepada aku yang sedang baca koran, “Berapa lama lagi kamu baca koran itu? Tolong kamu ke sini dan bantu anak perempuanmu tersayang untuk makan.”
          Aku taruh koran dan melihat anak perempuanku satu-satunya, namanya Sindu. Dia tampak ketakutan, air matanya mengalir. Di depannya ada semangkuk nasi berisi nasi susu ayam/yogurt (nasi khas India/curd rice).
          Sindu anak yang manis dan termasuk pintar dalam usianya yang baru 8 tahun. Dia sangat tidak suka makan curd rice ini. Ibu dan istriku masih kuno, mereka percaya sekali kalau makan curd rice ada “cooling effect”. Aku mengambil mangkuk dan berkata, “Sindu sayang, demi ayah, maukah kamu makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak, nanti ibumu akan teriak-teriak sama ayah.”
          Aku bisa merasakan istriku cemberut di belakang punggungku. Tangis Sindu mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya, dan berkata, “Boleh ayah akan saya makan curd rice ini tidak hanya beberapa sendok tapi semuanya akan saya habiskan, tapi saya akan minta..” agak ragu sejenak, “akan minta sesuatu sama ayah bila habis semua nasinya. Apakah ayah mau berjanji memenuhi permintaan Sindu?”. Aku menjawab, “Oh.. pasti sayang”.
Sindu tanya sekali lagi, “betul nih ayah?”
“ya pasti!” sambil menggenggam tangan anakku yang kemerah-merahan dan lembut sebagai tanda setuju.
          Sindu juga mendesak ibunya untuk janji hal yang sama, istriku menepuk tangan Sindu yang merengek sambil berkata tanpa emosi, “Janji”. Aku sedikit khawatir dan berkata, “Sindu jangan minta komputer atau barang-barang lain yah yang mahal, karena ayah saat ini tidak punya uang.”
Sindu menjawab, “Jangan khawatir, Sindu tidak minta barang mahal kok,” kemudian Sindu dengan perlahan-lahan dan keliatannya sangat menderita, dia bertekad menghabiskan semua nasi yogurt itu.
          Dalam hati aku marah sama istri dan ibuku yanf memaksa Sindu untuk makan sesuatu yang tidak disukainya. Setelah Sindu melewati penderitaannya, dia mendekatiku dengan mata penuh harap, dan semua perhatian (aku, istriku, dan juga ibuku) tertuju kepadanya. Ternyata Sindu mau kepalanya digundulin/dibotakin pada hari Minggu.
          Istriku spontan berkata, “Permintaan gila, anak perempuan dibotakin, tidak mungkin.” Juga ibuku menggerutu, “jangan-jangan terjadi dalam keluarga kita, dia terlalu banyak nonton TV dan program TV itu sudah merusak kebudayaan kita.”
          Aku coba membujuk, “Sindu kenapa kamu tidak minta hal lain, kami semua akan sedih melihatmu botak.” Tapi Sindu tetap pada pilihannya, “Tidak ada yah, tak ada keinginan lain.” Kata Sindu. Aku coba memohon kepada Sindu, “Tolonglah.. kenapa kamu tidak mencoba untuk mengerti perasaan kami?”
Sindu dengan menangis berkata, “Ayah sudah melihat bagaimana menderitanya saya menghabiskan nasi yogurt itu dan ayah sudah berjanji memenuhi permintaan saya. Kenapa sekarang ayah mau menarik/menjilat ludah sendiri? Bukankah ayah sudah mengajarkan pelajaran moral, bahwa kita harus memenuhi janji kita terhadap seseorang apapun yang terjadi seperti Raja Harish Chandra (raja India zaman dahulu kala) untuk memenuhi janjinya rela memberikan takhta, harta/kekuasaannya, bahkan nyawa anaknya.”
          Sekarang aku memutuskan untuk memenuhi permintaan anakku, “janji  kita harus ditepati.” Secara serentak istri dan ibuku berkata, “apakah kamu sudah gila?”. “Tidak” jawabku, “kalau kita menjilat ludah sendiri, dia tidak akan pernah belajar bagaimana menghargai dirinya sendiri. Sindu, permintaanmu akan kami penuhi.”
          Dengan kepala botak, wajah Sindu nampak bundar, matanya besar dan bagus. Hari Senin aku mengantarkannya ke sekolah, sekilas aku melihat Sindu botak berjalan ke kelasnya dan melambaikan tangan kepadaku. Sambil tersenyum aku membalas lambaian tangannya. Tiba-tiba seorang anak laki-laki keluar dari mobil sambil berteriak, “Sindu tolong tunggu saya.” Yang mengejutkanku ternyata kepala anak itu juga botak. Aku berpikir mungkin botak model zaman sekarang.
          Tanpa memperkenalkan dirinya, seorang wanita keluar dari mobil dan berkata, “anak anda, Sindu benar-benar hebat. Anak laki-laki yang jalan bersama dia sekarang, Harish adalah anak saya. Dia menderita kanker leukemia.” Wanita itu berhenti sejenak, menangis tersedu-sedu.
“bulan lalu Harish tidak masuk sekolah karena pengobatan kemoterapi. Kepalanya menjadi botak jadi dia tidak mau pergi ke sekolah takut diejek oleh teman –temannya. Nah, minggu lalu Sindu datang ke rumah dan berjanji kepada anak saya untuk mengatasi ejekan yang mungkin terjadi. Hanya saya betul-betul tidak menyangkan kalau Sindu mau mengorbankan rambutnya yang indah untuk anakku. Tuan dan istri tuan sungguh diberkati Tuhan mempunyai anak perempuan yang berhati mulia.”


Dari berbagai sumber

Just share J

2 komentar:

  1. Share and always share. Never stop to share.(allaboutmycreatons.blogspot.com)

    BalasHapus
  2. yapp.. share is fun ^_^
    okay, I'll visit!

    BalasHapus