Minggu, 22 Desember 2013

Seorang istri yang berwajah buruk dengan hati BODHISATVA



       Sudah tiga tahun lamanya mata sebelah kanan saya terkena infeksi dan membengkak hingga merah, dokter mengatakan bahwa saya terkena radang selaput bening, mata kanan saya sudah tidak bisa melihat sama sekali sedangkan mata sebelah kiri saya sudah tidak jelas lagi. “kemungkinan mata kamu terjangkit melalui handuk yang kotor atau saat berenang.” Dokter menjelaskan apa yang menyebabkan penyakit mata saya. “dahulu saya pernah memberikan pelajaran olah raga, juga seorang pelatih renang”.” Nah, kemungkinan mata kamu terjangkit melalui media tersebut”, kata dokter.
        Setahun kemudian, saya mendengar berita bahwa dengan operasi cangkok mata dapat memulihkan kembali penglihatan mata sebelah kanan saya. Saya menyampaikan kabar baik ini kepada istri saya. Setelah mendengar hal ini, istri saya terdiam dan berpikir sejenak, lalu masuk ke kamar mengambil buku tabungan yang isinya kurang lebih 20.000 NT dan di serahkannya kepada saya, selama bertahun-tahun ia telah dengan hemat menyisihkan uang untuk ditabung.” Bila 20.000 NT ini belum cukup, kita cari jalan lain lagi” kata istri saya. Saya tidak mau menerima uangnya yang dengan susah payah ia tabung, tetapi ia mengatakan “kamu tidak seperti saya, walaupun mata saya tidak buta, tetapi seperti orang buta karena saya tidak mengenal huruf, kamu juga tidak akan leluasa bila membaca dan menulis hanya dengan satu mata”, akhirnya saya pun menerima tawarannya dan segera pergi ke rumah sakit.
        Dokter Chow adalah seorang dokter mata yang sangat berpengalaman. Untuk dapat melakukan operasi mata , saya harus menunggu kornea mata yang sehat dari orang lain. Ternyata tidak sampai 1 bulan, dokter chow telah menelepon saya dan mengatakan ada seorang supir truk mengalami kecelakaan dan luka parah, sebelum meninggal ia berpesan kepada istrinya, seluruh organ tubuhnya yang masih dapat digunakan harap dijual saja agar dpat menghasilkan uang, uang tersebut kelak untuk biaya anak-anak mereka yang masih kecil. Maukah kamu mengeluarkan uang 4 juta untuk mereka?” Tanya dokter chow. Saya hitung-hitung biaya operasi dan obat-obatan termasuk biaya inap tidak sampai 4 juta, sehingga saya pun segera menyetujuinya, banyak orang yang harus menunggu lama untuk mendapatkan kornea mata dari orang lain, saya sungguh beruntung bisa dengan cepat mendapatkannya. Dokter menyuruh saya untuk segera masuk ke rumah sakit keesokkan harinya. Saya merasa berterima kasih dan berhutang budi kepada istri yang telah memberikan dukungan dan bantuan dana. Setelah operasi saya selesai dan saya didorong keluar dari ruang operasi, anak perempuan saya siao rong berbisik dekat kuping “ operasinya sangat lancer, tadi sebenarnya  ibu ingin datang melihat ayah, tetapi takut ayah tidak senang.” “pulanglah dan katakan pada ibumu, saya tidak” apa-apa, tidak usah dilihat, tenang saja dan tidak perlu khawatir. Dulu saya pernah dirawat di rumah sakit, pada saat itu, istri saya juga tidak pernah datang melihat saya, karena saya tidak mau ia datang.
        Ketika menikah, umur saya baru 19 tahun, pernikahan kami telah dijodohkan sejak masih dalam kandungan, karena ayah dan mertua saya adalah sahabat karib, sehingga saat ibu kami mengandung mereka telah menjodohkan anak mereka yang akan lahir. Sebelum menikah saya tidak pernah melihat wajah istri saya, karena saya kuliah diluar kota. Pada hari pernikahan saya baru pulang ke rumah, pada malam pengantin, saya baru dapat melihat wajah istri dengan jelas, pada saat itu saya sungguh kaget dan kecewa ketika melihat wajahnya yang begitu jelek, tidak seperti apa yang saya idamkan. Boleh dibilang dari mata hingga mulut tidak ada satupun yang bisa dibanggakan, mukanya berlekuk-lekuk seperti jalan yang tidak merata, matanya lebam dan alis matanya jarang, ia baru berumur 19 tahun tapi terlihat seperti umur 40 tahun. Pada malam itu saya menangis di kamar ibu dan protes mengapa saya dijodohkan dengan gadis berwajah jelek. Ibu menasehati saya untuk menerima nasib dan  mengatakan perempuan yang jelek wajahnya lebih mempunyai rejeki, perempuan yang rupawan belum tentu membawa rejeki dan kadang-kadang berumur pendek. Namun tidak peduli bagaimana ibu menasehati saya, saya tetap tidak mau mendengar dan tidak mau menerima, hati ini memberontak dan rasanya sedih sekali. Saya tidak ingin sekamar dengan istri saya, juga tidak ingin bicara dengannya, saya sengaja tinggal di kost, pada saat liburan sekolah pun saya tidak ingin pulang. Akhirnya ayah menyuruh seorang kerabat dengan sedikit memaksa dan nasehat membawa saya pulang ke rumah.
        Sampai di rumah istri saya sedang menyiapkan makan malam, ia menyambut saya dengan senyuman, tetapi saya membuang muka dan tidak mau melihat dia, langsung menuju ke kamar ibu, seolah-olah tidak melihat siapapun di rumah.
        Setelah makan malam, ibu memanggil saya ke kamarnya dan mengatakan “nak, kamu sudah keterlaluan, istri kamu walaupun parasnya jelek, tetapi hatinya tidak jelek” “ya benar, sangat sangat cantik seperti bidadari!” dengan kesal saya mengejek “jika tidak, mana mungkin bisa jadi menantu kamu?” ibu menjadi marah sekali, lalu mengatakan “dia benar-benar menantu yang  sangat baik dan pengertian, selama 6 bulan di rumah kita, dari pagi hingga malam tidak berhenti bekerja, menyiapkan makanan dan segala kebutuhan ibu dan ayah kamu.
        Sikap kamu begitu buruk kepada dia, dia tidak pernah mengeluh satu kata pun, juga tidak pernah melihat dia menangis. Tetapi tahukah kamu, tangis air matanya mengalir ke dalam perut!” sikap ibu sedikit melunak, lalu beliau berkata “hidup ini hanya sekali saja, asalkan dia bisa melayani kamu dengan baik, bisa mengurusi rumah tangga dan merawat anak itu sudah cukup. Apakah kamu tega melihat orang terus menjanda? Kamu harus mempunyai timbang rasa jika orang lain terhadap kamu demikian, apakah kamu bisa terima?” semenjak itu saya baru mau sekamar dengan dia, tetapi hati saya masih tidak rela, dan rasanya hambar serta tak ada perasaan bahagia bersuami istri dengannya. Dia selalu menundukkan kepala kalau berbicara suaranya pelan seperti ketakutan. Kadang – kadang dengan nada kesal saya membentak, ia juga hanya tersenyum dan tidak berani membantah, kemudian menunduk lagi. Ia seperti segumpal kapas yang tidak punya pendirian dan juga tidak ada emosinya.
        Selama 30 tahun saya berumah tangga, saya jarang menampilkan wajah yang enak, juga tidak pernah berdua jalan di jalan raya, tidak terhitung beberapa kali, saya selalu diam-diam memaki dan mengumpat agar ia cepat mati. Mungkin karena wajah istri saya jelek,sehingga ia memiliki kesabaran dan kasih sayang yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh orang lain.
        Pada saat itu penghasilan saya sebagai pegawai negeri sangat kecil sekali, hanya cukup untuk mengenyangkan perut serta biaya obat-obatan anak yang sering sakit-sakitan. Kami tinggal di dekat pantai, selain harus menjaga kedua anak kami, istri saya terpaksa mencari biaya tambahan dengan menganyam tikar dan topi, ia juga membantu nelayan untuk menambal dan mengikat jaring ikan. Setelah pindah ke daerah bagian utara, ia bekerja di sebuah pabrik keramik dan melukis gambar pada keramik. Pada saat itu, saya jarang pulang ke rumah, saya tidak pernah bertanya bahkan risau terhadap biaya kebutuhan rumah tangga ataupun biaya sekolah anak. Sebenarnya kami dapat tinggal di asrama tentara yang sudah disediakan, tetapi kami tidak pernah tinggal disana, selain karena takut orang lain mengetahui saya mempunyai seorang istri yang jelek, istri saya sendiri juga takut bertemu dengan keluarga rekan atau komandan saya.
        Setelah pensiun dari tentara, kami pindah ke sebuah rumah kecil dan jauh dari kota. Anak pertama siao rong sudah lulus kuliah dan sekarang sedang mengajar di sebuah sekolah. Anak kedua kami masih kuliah diakademi angkatan bersenjata, nilainya sangat bagus, sekarang sedang sibuk dengan ujiannya, maka saya berpesan kepada siao rong jangan memberitahukan dia bahwa saya menjalankan operasi cangkok mata, agar tidak membuat dia khawatir dan terganggu konsentrasinya. Selama tinggal di rumah sakit, dalam benak saya selalu teringat pada masa lalu, selalu muncul wajah istri saya yang jelek namun penuh ketabahan. Saya menyesal telah menolak ia datang menjenguk saya. “ah… sudah tua seperti ini, anak juga sudah besar, kenapa masih terus saja mencari kesalahan?” setelah dua minggu berlalu, sudah saatnya jahitan operasi dibuka, hati saya tidak bisa memendam rasa kegembiraan, saya membayangkan orang sudah lama kehilangan kebebasan tiba-tiba mendapat kebebasan kembali, hatinya pasti juga seperti saya sekarang ini.
        Saya berkata kepada siao rong “nanti kalau sesudah pulang dari rumah sakit, kamu harus membawa papa ke kuburan yang telah memberikan kornea mata ini, papa ingin bersembahyang untuk berterima kasih kepada dia”
        Dokter membuka perban mata sebelah kanan saya, saya masih tidak berani membuka mata saya karena masih takut operasinya gagal. “melihat sinar tidak?”, Tanya dokter. Saya menggerak-gerakkan mata saya dan menjawab di atas sangat terang!” “itu adalah lampu operasi!”, dokter menepuk-nepuk bahu saya dan dengan senang mengatakan “teman, operasinya sukses!  Seminggu lagi anda boleh pulang ke rumah”
        Dalam satu minggu itu, penglihatan saya semakin jelas, disaat mau keluar dari rumah sakit, jendela, ranjang, dan gelas di atas meja sudah bisa terlihat dengan jelas semuanya. Siao rong yang menjemput saya.
        “mama di rumah sudah menyiapkan makanan kesukaan papa”, kata siao rong.” Dia adalah seorang istri yang baik dan juga seorang mama yang baik.” Saya mengucapkan kata-kata yang tersimpan dalam hari berpuluh-puluh tahun yang tidak pernah saya ucapkan. Kemudian kami pulang ke rumah dengan sebuah taksi di sepanjang jalan, siao rong hanya diam dan tidak berbicara.
        Sesampainya dirumah yang telah saya tinggalkan  dengan membawa sepiring sayur. Begitu melihat saya, ia tertegun sejenak, kemudian berburu-buru menundukkan kepalanya, dengan suara pelan ia berkata “sudah pulang ya” “terima kasih kamu telah memberikan saya cahaya terang” untuk pertama kali saya mengucapkan kata demikian. Ia menundukkan kepala dan berlalu disamping saya, piring sayur ditaruh diatas meja dan membelakangi saya, kedua tangan tiba-tiba memegang dinding, terdengar suara tangisnya, ia berkata “dengan kata-kata mu yang tadi sudah cukup, matipun saya sudah rela.” Pada saat itu siao rong dari luar berlari menghampiri ibunya, dengan menangis ia berteriak” ma, cepat beritahu papa kalau mata sebelah kanannya adalah kornea matamu” siao rong terus menggoyang-goyangkan bahu ibunya “cepat katakan, ma!” istri saya berhenti menangis dan dengan suara parau ia mengatakan “itu sudah seharusnya saya lakukan” saya terkejut mendengar ucapan mereka langsung meraih istri saya dan memegang kedua bahunya, dengan tangan gemetar saya mengamati matanya, bola matanya yang sebelah kiri sudah berubah menjadi warna putih kekosongan, seperti sebelum saya dioperasi.
        “cin hua” untuk pertama kalinya saya memanggil namanya, saya sungguh kaget dan tidak percaya apa yang saya lihat, “kenapa? Kenapa bisa demikian? “ saya  hampir sudah mau gila dan terus mengguncang-guncangkan bahunya yang kurus itu. “kenapa kamu lakukan itu?” saya berteriak-teriak dan bertanya sambil menangis.
        “karena… kamu adalah… suami saya!” dengan suara terisak-isak ia menjawab, setelah itu ia menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan saya. Oh tuhan, sungguh besar dosaku, saya telah menyia-nyiakan istriku yang setia menemaniku selama 30 tahun, selama ini saya memperlakukan dia dengan tidak adil, saya juga tidak pernah memberikan dia kebahagiaan, sungguh tidak pantas saya menjadi seorang  manusia. Kemudian saya memeluk di dengan erat… saya berlutut di hadapan dia.

Sumber : Gema Suci
Just share :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar